Jumat, Agustus 21, 2009

Mencermati Pendidikan Model Ngaji dan Negri

Beberapa hari yang lalu, pesantren Al-Amien berbahagia karena dikunjungi oleh salah seorang Syeh terkenal dari Tanah Suci Mekkah, Syeh Muhammad bin Ismail Al-Yamany Al-Makky. Kedatangan beliau kali ini sudah kesekian kalinya. Dengan niatan silaturrahim seraya mengunjungi para muridnya yang sudah menjadi alumni di seluruh pelosok nusantara ini, terutama di Madura, dan kebetulan beberapa alumninya adalah ada yang dari putra-putri famili pengasuh sendiri.

Keunikan Sistem Ngaji
Pendidikan ala Syeh Muhammad bin Ismail Al-Yamany Al-Makky adalah cermin pendidikan yang sangat sederhana tanpa macam-macam sistem yang ruwet, namun keberhasilannya jelas. Beliau menampung para pelajar yang ingin belajar mendalami ilmu agama, yang biasa disebut dengan istilah “ngaji”, dan bertempat di kediaman beliau sendiri di Mekkah. Karena, bila ada seseorang yang ingin belajar ke beliau dibilang mau “ngaji” bukan mau sekolah, dan beliau biasanya bilang, atta’allum fi manzili, artinya belajar di rumahku, bukan belajar di sekolahku atau di lembagaku.

Bila seseorang hendak ngaji ke beliau, niat batinnya harus serius dan ikhlas. Hal ini menjadi syarat paten untuk diterima “ngaji” di sana. Konon, situasi batin itu hanya diketahui batin beliau sendiri, sehingga tidak semua orang yang ingin belajar di sana diterima. Jadi, tanpa butuh syarat material segala macam, seperti biaya kecuali hanya biaya transportasi ke sana, selainnya ditanggung sendiri oleh beliau termasuk biaya hidup sehari-hari.

Soal hasil (output) setelah selesai ngaji di sana yang lamanya minimal 2 tahun, setelah pulang mayoritas alumninya menjadi sukses-sukses dan ahli agama, setidaknya mengajar di lembaga-lembaga pendidikan atau pesantren-pesantren, atau mewarisi kedudukan ayahnya sebagai pengasuh pesantren (baca: kiai) bagi mereka yang kebetulan kader pesantren atau anaknya seorang kiai. Bahkan, tidak jarang yang menjadi pejabat pemerintahan, meski setingkat daerah.

Inilah yang menjadi keunikan tersendiri bagi pendidikan gaya “ngaji” ini. Meskipun bukan dalam bentuk sekolah formal dengan sistem yang kompleks dan kecanggihan teknologi, atau yang kelulusannya menyandang gelar resmi, para alumninya tidak ada yang menganggur seperti yang sering dialami oleh sistem pendidikan umum atau negri yang tiap tahunnya sampai ribuan anak yang terjerumus ke dalam pengangguran. Pasalnnya, para alumninya kebanyakan bermanfaat baik bagi masyarakat setelah pulang ke tanah kelahirannya masing-masing.

Dari keunikan itu, tentunya kita harus bertanya-tanya, kenapa sistem pendidikan model demikian dengan keterbatasan dan kesederhanaannya bisa menghasilkan para generasi yang bermanfaat baik bagi masyarakatnya?

Barokah Menjadi Orientasi Inti
Jawaban pertanyaan di atas, pertama, karena orientasi inti yang paling diutamakan adalah bukan sekedar mendapatkan pengetahuan kognitif atau wawasan keilmuan (intelektual) yang luas semata, akan tetapi mengacu kepada orientasi akidah dan akhlaq (spiritual dan moral). Artinya, niat utama mereka belajar bukan mencari kepintaran atau kecerdasan intelektual saja, akan tetapi mencari kecerdasan beribadah kepada Tuhan (iman dan taqwa) dan beramal saleh kepada sesama manusia. Persoalan materi duniawi atau orientasi materi hanya sekedar menjadi efek moral dari orientasi utama tersebut, bukan menjadi tujuan utama.

Sebab, ahli ibadah kepada Tuhan serta akhlak mulia kepada sesama manusia adalah diyakini menjadi pusat segala hal yang bersumber darinya orientasi urusan lain. Pasalnya, kalau menjadi orang yang ahli beribadah serta berakhlaq baik, maka hidupnya akan sejahtera, kehadirannya dibutuhkan manusia, sehingga segala kebutuhanya akan datang sendiri. Paling tidak, dia tidak sibuk pontang panting hanya untuk mencari materi dunia, sehingga pada muaranya kehidupannya akan tenang dan sejahtera.

Hal inilah yang dikenal dengan konsep barokah. Mereka mengharap barokah hidup dari Tuhan dengan jalan niat yang luhur, belajar serius dan ikhlas mencari ridho-Nya sebagai pemilik segala di semesta ini, sehingga logikanya, barang siapa yang menginginkan dunia, maka dekati dulu yang memiliki dunia ini; raih ridho-Nya dulu, baru segalanya akan dikasih oleh-Nya. Inilah letak filosofis adagium yang berbunyi, “nanam padi pasti rumput ikut tumbuh, tapi nanam rumput tidak mungkin padi ikut tumbuh”.

Kedua, karena ghirah ukhuwah dan ikatan persatuan para alumni serta gurunya kuat. Bayangkan saja, seorang guru meluangkan waktunya secara konsisten pada saat-saat tertentu hanya demi mengunjungi atau melihat kondisi para alumninya yang ada di seluruh pelosok dunia. Ikatan batin dan tingkat kekawatiran guru takut santrinya menjadi orang yang tidak bermanfaat atau sengsara sangat tinggi sekali, sehingga seandainya ada satu saja alumninya yang dijumpai tidak sejahtera akan dibantu berupa solusi-solusi praktis yang dihadapi bersama.

Sistem pendidikan model ngaji ini tidak hanya terjadi di kediaman Syeh tersebut saja, akan tetapi juga diwarisi oleh mayoritas sistem pendidikan pesantren di negri ini. Walaupun sebagian pesantren ada yang sudah merevolusi sistemnya mengikuti label modern, namun mereka tidak sampai tercerabut dari visi dan misi sejati keislamannya. Yaitu, mencipta para generasi mutafakkuh fiddin, berakhlaq mulya, dan berwawasan luas. Di pesantren Al-Amien dikenal dengan jargonnya: beriman sempurna, berilmu luas, dan beramal sejati.

Sistem Pendidikan Negri
Lain dengan sekolah atau pendidikan pada umumnya (baca: negri), yang kebanyakan mekanismenya kecerdasan kognitif dan orientasinya materi dunia an sich. Padahal, segala yang ada di dunia ini bukan dunia atau menusia sendiri yang menciptakannya, sehingga bagaimanapun usaha mereka kalau sang pemilik dunia (baca: Tuhan) tidak berkenan memberinya, tetap tidak akan pernah didapatinya, kecuali hanya kesia-sian. Sekaligus, kehidupan tidak sesederhana hanya dihadapi dengan potensi kognitif saja.

Jika bisa mendapatkan ilmu atau segala hal yang diambisikan dengan segala macam kecerdasan dan kecanggihan usaha dan sistemnya, namun tanpa dibarengi dengan bekal spiritual dan moral, keberhasilannya itu malah akan membawa malapetaka. Seperti, bukankah para koruptor di negri ini terdiri dari orang-orang pintar yang gelarnya tinggi? Di sinilah letak bahwa mereka tidak mendapatkan ilmu yang barokah.

Di samping itu, sistem pendidikan yang parsial alias tidak utuh, atau bahkan tidak berkeprimanusiaan; hanya menilai potensi manusia dari beberapa materi yang di-UAN-kan saja; seseorang dianggap gagal dalam hidup hanya lantaran tidak lulus UAN (Ujian Ahir Nasional), dan yang lain di anggap sukses hanya karena lulus di UAN. Oleh karena itu, meski idelisme tujuan pendidikan nasional/pemerintah jelas-jelas utuh mencakup segala potensi: intelektual, spiritual, moral serta keterampilan, namun sistem evaluasinya parsial demikian, keberhasilan yang utuh hanya akan menjadi mimpi di siang bolong saja.

Anehnya, fenomena ini berlanjut sampai sekarang, meski sudah banyak bukti, hanya gara-gara tidak lulus UAN tiap tahun banyak para pelajar dan orang tuanya yang mengalami kekacauan emosi dan psikologi; stress, trauma, putus asa, bahkan mau bunuh diri.

Demikian juga, sistem sekolah yang berbentuk kejuruan semacam SMK dengan misi agar setelah lulus peserta didik langsung memiliki pekerjaan yang professional (siap pakai). Asumsinya, meski tidak melanjutkan ke jenjang lebih tinggi dapat langsung memiliki pekerjaan, sehingga tidak ada lagi pengangguran yang pada muaranya dapat mengurangi kemiskinan di negri ini.

Sejatinya, kalau dipikir-pikir, sistem kejuruan demikian adalah mau membentuk generasi pekerja-pekerja yang sibuk hanya mencari uang di perusahaan-perusahaan atau pabrik-pabrik. Lalu, apa bedanya dengan buruh kasar meski mungkin lebih keren karena disandangkan label profesionalitas. Pada hakekatnya tetap saja seorang pekerja yang posisinya di bawah tuan-tuan. Bukankah ini tidak akan makin menyuburkan doktrin bahwa Indonesia adalah negri buruh atau para pekerja (TKI) yang banyak diekspor ke luar negri. Ini menjadi persoalan kritis keburaman pendidikan di negri ini yang harus menjadi perhatian bersama secara konkret.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar