Minggu, Agustus 09, 2009

Mencermati Standart Memilih Pemimpin

Menjelang pemilu 2009 legislatif maupun eksekutif, banyak wacana yang mengiringinya, baik yang bersumber dari para santri, mahasiswa, ilmuwan, budayawan, politisi sendiri, maupun masyarakat awam pedalaman, dan sebagainya, dalam bentuk tulis maupun orasi, dan dengan beraneka ragam substansi pemikiran dan asumsi yang diusung. Sekarang, Cawe-cawe dalam politik atau pemilu bukan lagi dimanipulasi oleh orang-orang elite atau atasan (baca: Pejabat atau politisi) an sich, tetapi semua kalangan.

Namun, betapapun semua kalangan masyarakat sudah mulai melek urusan politik atau pemilu, mereka jangan sampai terbuai akan janji-janji manis para calon pemimpin. Oleh karena itu, masyarakat harus ekstra hati-hati dalam menentukan pilihan. Sebab, para calon pemimpin dalam mempromosikan dirinya pasti akan selalu muncul sebagai orang yang benar dan suci dengan wajah yang terkesan ramah, ceria, penuh senyum, dan keikhlasan. Padahal, masyarakat belum tentu tahu apa sesungguhnya yang ada di hati para calon pemimpin itu.

Ada beberapa gagasan pertimbangan sebagai standart pegangan kita dalam menentukan siapa yang akan kita pilih sebagai pemimpin masa depan kita. Hal ini penting kita cermati dalam-dalam untuk mengkategorikan calon pemimpin yang pantas kita pilih atau tidak. Sebab, pemilihan umum sejatinya tidak sekedar memilih seorang pemimpin, tetapi juga memilih masa depan. Seorang pemimpin yang kita pilih nanti, akan menentukan masa depan kita; setidaknya untuk masa lima tahun mendatang (Pelita, 23/3/09).

Jika pemimpin yang kita pilih benar-benar manjadi pemimpin yang sejati, luhur, adil, jujur, tegas, dan amanah, maka kehidupan kita lima tahun mendatang akan menjadi masa yang penuh bahagia sejahtera, sehingga masa itu akan terasa amat cepat dan pendek.

Tetapi sebaliknya, jika pemimpin kita itu buas, rakus (menikmati uang apa dan uang siapa saja/jago korupsi), sewenang-wenang, dan saenae udele dewe, masa lima tahun ke depan kita akan menjadi layaknya hidup di neraka yang menyiksa, sehingga masa itu akan terasa amat lambat dan panjang.

Standart pertimbangan itu adalah, pertama, pertimbangan kendaraan politik yang ditumpangi oleh para calon pemimpin (baca: partai). Kita bisa melihat kualitas para calon pemimpin dari partai politik yang ditumpanginya, yaitu visi dan misi masing-masing partai. Di samping itu, kita juga melihat visi dan misi pribadi masing-masing para calon pemimpin yang bisa kita lihat secara tertulis pada bendera, baleho, spanduk, poster, kartu, atau kaos partai, dan pernak-pernik kampanye lainnya.

Kedua, pertimbangan kapasitas kepribadian para calon pemimpin. Dalam hal ini, kita harus mencermati sejauh mana kecerdasan dan kecakapan mereka dalam memimpin (leadership); cerdas dalam spritualitas, moralitas, intelektualitas, emosional dan posisional.

Termasuk juga, calon pemimpin harus sehat jasmani dan rohani. Kita bisa mengetahui dengan lebih jelas semua kapasitas-kapasitas tersebut ketika mereka tampil berorasi di depan publik atau dalam acara-acara debat calon pemimpin. Dan, Semua kapasitas tersebut harus termanifestasi utuh dalam diri mereka.

Ketiga, pertimbangan niat dan cara atau proses menjadi pemimpin (how-nya). Artinya, niat dan proses menjadi pemimpin sangat mempengaruhi para calon pemimpin ketika berhasil menjadi pemimpin. Kita bisa mengetahui kualitas mereka dari niat dan cara mereka dalam berupaya menuju keberhasilan menjadi pemimpin.

konteks ini harus kita cermati secara utuh, tidak boleh salah satunya saja. Niatnya baik tapi prosesnya buruk, maka akan membawa kepada kehancuran, tidak ubahnya seorang penghianat. Begitu juga jika prosesnya baik tapi niatnya buruk, akhirnya akan membawa kepada kehancuran juga, tidak ubahnya seorang penipu.

Seorang kiai salaf menganalogikakan hal ini dengan seseorang yang memberikan makanan enak yang dicampuri dengan kotoran secara samar kepada orang kelaparan. Atau, bahkan dicampuri dengan racun sehingga akhirnya mematikan (sok penolong tapi sebenarnya penjahat). Maka dari itu, antara niat dan proses harus seirama dalam kebaikan.

Meskipun niat para calon pemimpin bukan berupa hal yang kasat mata (tidak dapat dilihat). Kita bisa mengetahuinya lewat bagaimana mereka berproses, berusaha, atau berkiat untuk mewujudkan niatnya menjadi pemimpin; bagaimana usaha mereka dalam berkampanye untuk mempromosikan diri sebagai calon pemimpin. Misalnya, bila ada seorang calon pemimpin menghalalkan segala cara, seperti curang dan menyogok (money politic), maka sudah pasti niatnya juga tidak bersih.

Maka dari itu, bagi seluruh kalangan masyarakat harus betul-betul mencermati pertimbangan-pertimbangan memilih di atas. Sebab, bila salah pilih akibatnya akan kembali kepada diri sendiri; kehancuran masa depan. Jangan mudah terbius oleh kenikmatan sementara: uang puluhan ribu, bungkusan rokok, sarimi, apalagi hanya janji-janji manis yang abstrak.

Akhirnya, kita (para pemilih sekaligus calon pemimpin) harus selalu ingat peringatan nabi saw, "Apabila amanat itu dilenyapkan, maka tunggulah datangnya kiamat. Sahabat bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimana melenyapkan amanat itu?' Rasulullah menjawab, 'Apabila perkara itu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah datangnya kiamat." (Pernah dimuat di Radar Madura, Jawa Pos Group).

1 komentar: