Minggu, Agustus 09, 2009

Santri Kontemporer dan Barokah Pesantren

Dalam sebuah pertemuan, KH. Moh. Idris Jauhari pengasuh PP. Al-Amien Prenduan menyatakan bahwa di zaman modern ini Allah SWT telah melimpahkan segala nikmat-Nya kepada manusia berupa derasnya kemajuan ilmu pengetahuan dan canggihnya teknologi. Namun, bersamaan dengan itu pula Allah SWT mencabut borakah-Nya dari bumi ini. Ini maksudnya, disamping kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kian maju pula fenomena-fenomena yang membuat masyarakat justru bertambah akrab dengan penderitaan; bencana alam, pergaulan bebas, tawuran, korupsi, ijazah instan, dan sejenisnya. Dalam bahasa lain, kemajuan dan kecanggihan tersebut tidak membawa berkah.

Di pesantren, barokah biasa dikaitkan dengan ilmu (baca: ilmu barokah) yang dipahami sebagai ilmu yang bermanfaat dan punya nilai lebih. Artinya, meski kuantitasnya sedikit tapi manfaatnya luas bagi umat. Oleh Karena itu, di pesantren barokah menjadi orientasi inti keberhasilan santri dalam segala bidang, kompetensi, dan profesi; bila menjadi pejabat misalnya, maka dia akan menjadi pejabat yang adil dan ikhlas, tidak korupsi. Tidak hanya itu, dalam gagal pun menjadi pejabat tapi menjadi petani, maka dia akan selalu menyadari dan ikhlas, tidak pernah ngotot dengan segala cara. Maka dari itu, tidak ada istilah gagal dalam prinsip barokah. Sebab, barokah ada pada suasana hati dan diyakini mudah tumbuh darinya keberhasilan potensi-potensi lain.

Barokah diyakini hanya bisa timbul melalui keridhoan kiai (baca: guru). Sedangkan keridhoan kiai bisa didapat melalui sikap spiritual dan moral. Oleh karena itu, pendidikan pesantren tidak terlalu memprioritaskan potensi intelektual (tapi tidak terlalu bodoh/idiot) sebagai persyaratan masuk calon santri baru. Tapi, yang lebih penting dari segalanya adalah potensi spiritual dan moral. Artinya, calon santri harus mematuhi dengan penuh ikhlas segala peraturan kiai, berakhlak mulya, sekaligus punya dasar dalam ibadah; membaca Al-Quran, sholat, dan sejenisnya. Meski di beberapa pesantren tertentu (baca: modern) juga memperhatikan aspek intelektual, seperti kualitas ijazah, itu pun biasanya sebagai pelengkap formalitas saja.

Dari konsep barokah tersebut, timbullah tradisi-tradisi unik di pesantren, seperti santri berebutan mencium tangan kiainya, membalikkan sandal kiainya, dan sejenisnya. Mungkin aneh, dan tidak masuk akal, sebab perilaku tersebut memang tidak bisa dianalisa dengan logika kausalitas sejenis "kalau makan pasti kenyang". Namun, Prilaku tersebut menjadi simbol yang mengandung nilai ketaatan yang dapat melahirkan kesuksesan min haitsu la yahtasib yang langsung datang dari Tuhan (barokah), dan hanya dialami oleh orang yang yakin saja. Bukankah kita sering melihat seorang santri saat mondok bodohnya bukan main namun setelah lulus dia menjadi orang yang paling bermanfaat di tengah-tengah masyarakatnya. Dan sebaliknya, ada santri yang pintarnya luar biasa tapi setelah keluar dari pondok justru menjadi orang yang biasa-biasa saja, tidak ada bedanya dengan orang awam, bahkan ada yang jadi pengrusak. Santri pertama mendapatkan barokah dan yang kedua dapat ilmu tapi tidak dapat barokahnya.

Tapi, seiring dengan kepesatan perkembangan zaman (baca: modern) yang melahirkan logika kebebasan dan rasionalisme, konsep barokah tersebut mulai buram tergilas oleh konsep modernitas yang juga merasuki dunia pesantren. Sebab, dengan konsep modernitas tersebut banyak manusia menjadi robot-robot yang segala tindakannya diinstal oleh sistem-sistem modernitas yang sifatnya serba bebas dan rasional. Sehingga, manusia kerap menjadi lupa nurani, termasuk insan pesantren.

Semua itu tampak, banyak santri sekarang (saya sebut santri kontemporer) sudah mulai meragukan dan mempertanyakan tradisi-tradisi unik pesantren. Seperti, apa hubungannya mencium tangan kiai atau membalikkan sandal kiai dengan kesuksesan, atau mereka mulai mengkritik habis-habisan eksistensi kitab-kitab klasik sebagai rujukan moral utama pesantren dengan anggapan sudah ketinggalan zaman. Dari sini, ada beberapa pesantren yang mengesampingkan pembelajaran kitab kuning dengan mengurangi waktunya, atau hanya mempelajari sedikit tema saja. Pesantren demikian lebih disesaki oleh sistem dan kurikulum umum yang dianggap lebih modern, seperti kursus-kursus komputer, internet, musik, seni, olah raga, dan sejenisnya.

Pada gilirannya, tidak menutup kemungkinan wajah pesantren akan berganti diwarnai dengan tradisi-tradisi baru yang gersang, seperti individualisme, fanatisme, glamor, bahkan kriminalisme. Akhirnya, meminjam istilah Ibnu Hajar, budayawan Sumenep: santri malah menjadi rayap-rayap yang menggerogoti tiang-tiang pesantren itu sendiri.

Maka dari itu, Seluruh civitas pesantren (kiai, guru, sekaligus santri) harus mengadakan pemahaman ulang yang lebih benar tentang konsep modernitas sekaligus mengadakan pengawasan yang intensif dalam penerapannya. Kemudian, menata ulang sistem dan kurikulum yang seimbang dan utuh antara modernitas, spritualitas dan moralitas. Dengan demikian, misi luhur pesantren modern mencetak generasi intelek (IPTEK) sekaligus membawa berkah (IMTAK) akan betul-betul menjadi kenyataan. (Pernah dimuat di Radar Madura, Jawa Pos Group).

2 komentar:

  1. tulisan antum bagus cuma ada yang perlu diperbaiki.
    1. mengenai pemilihan kata, tulisan yang ini agak kurang menarik karena pemilihan kata yang kurang tepat.
    2. kalo bisa diletain foto.
    thanks

    BalasHapus
  2. maklum, itu tulisan pertama kali saya belajar, tanggal 24 November lalu yang dimuat Radar Mdura, sy juga merasa itu kurang bagus, tapi masih dimuat. trims banyak atas komentarnya. moga sukses selalu.

    BalasHapus