Minggu, Agustus 09, 2009

Valentine's Day: Cobaan Indah Insan Pesantren

Tradisi perayaan Valentine's Day (hari raya kasih sayang) adalah tradisi yang paling indah dan menyenangkan bagi kalangan remaja selain Tahun Baru Masehi dan hari Natal. Sehingga, menjadi tradisi yang paling berkesan dan disukai.

Bila kita memandang Valentine's Day dari sudut Islam, sudah barang tentu hukumnya haram dengan beberapa alasan. Diantaranya, pertama, Valentine's Day jelas tidak ada dasarnya dalam Al-Quran dan Hadist. Kedua, Valentine's Day berasal dari tradisi luar Islam (baca: Kristen) yang merujuk kepada St. Valentine, seorang pendeta Kristen pada abad ke 3 M. Sehingga, bila orang Islam ikut merayakannya berarti dia telah menyerupai orang Kristen. Hadist Rasul SAW menjelaskan, "Barangsiapa yang menyerupai (bertasyabuh) suatu kaum, maka ia termasuk salah seorang dari mereka." (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan ath-Thabrani).

Ketiga, Valentine's Day lebih kental dengan kemaksiatan. Konon, Valentine's Day berangkat dari motivasi kasih sayang antara pria dan wanita. Sebagaimana St. Valentine ketika menikahkan para pemuda atas motif adanya rasa kasih sayang. Kemudian St. Valentine menjalin cinta secara diam-diam di bilik penjara dengan seorang anak sipir penjara sebagai implementasi rasa kasih sayang kepadanya. Titik historis inilah yang lebih diabadikan oleh para remaja sekarang, sebagai hari raya kasih sayang kepada seorang kekasih dan biasanya diekspresikan dengan memberi sebuah kartu atau kado valentine, hadiah coklat, bunga-bunga kasih sayang, dan pernak-pernik Valentine's Day lainnya. Menjadi asing bila kasih sayang tersebut dimaksudkan untuk kedua orang tua atau sanak keluarga.

Dari sudut sosial-budaya, adalah fakta, tradisi Valentine's Day bukan hanya milik kalangan; bangsa, kultur, atau agama tertentu. Namun, telah menjadi tradisi semua kalangan, termasuk kalangan pesantren yang selalu bergelut dengan keislaman. Meskipun dengan cara-cara yang lebih sederhana, misalnya salam cinta kasih sayang via surat, koran, majalah, internet, dan media masa lainnya yang terjangkau di pesantren. Namun, tidak menutup kemungkinan ada juga santri yang berkecimpung langsung di luar dengan menyalahgunakan perizinan yang sudah direncanakan matang-matang sebelumnya. Apalagi, beberapa pihak penerbitan media massa menyediakan rubrik khusus yang melayani jasa pernak pernik tradisi Valentine's Day. Selain itu, para pedagang bunga-bunga, coklat, dan sejenisnya, mereka sangat merasa diuntungkan dengan adanya Valentine's Day. Hal tersebut wajar, sebab mereka mempertimbangkannya dengan ukuran sosial-ekonomi. Lain lagi bila kita melihat Valentine's Day dari sudut sosial-politik. Bisa jadi, perayaan Valentine's Day menjadi momen paling jitu untuk menarik masa sebanyak-banyaknya, apalagi pas bersamaan dengan sedang hingar-bingarnya persoalan politik mendekati pemilihan umum, baik legislatif maupun eksekutif.

Tapi, bagaimanapun kita melihat Valentine's Day dari berbagai sudut pandangnya, kita jangan sampai lupa terhadap sudut nurani kita masing-masing, siapapun itu. Di sini, timbul beberapa pertanyaan: Betulkah Valentine's Day menjadi motivasi sentral untuk mengekpresikan rasa cinta kasih sayang? Atau, apakah cuma pada tiap hari itu (14 Februari) kita harus berkasih sayang dengan sesama? Dan, apakah rasa kasih sayang tersebut hanya untuk pacar, kalangan remaja, pria dan wanita dengan cara berduaan di tempat sepi atau umum, pesta miras, ciuman, atau bahkan menyerahkan keperawanan? Ini adalah fakta, sebagaimana yang dibuktikan oleh majalah Cosmo Girl, 95 % gadis yang merayakan Valentine's Day rela memberikan keperawanannya kepada teman cowoknya di saat perayaan tersebut. Siapapun akan memandang itu salah. Sebab, kasih sayang adalah ajaran kemanusiaan universal. Artinya, kasih sayang adalah milik manusia semua bahkan lingkungan dan makhluq lainnya berdasarkan aturan-aturan yang benar. Maka dari itu, kalau boleh saya istilahkan, pada hakekatnya valentine's day ini adalah "hari raya murka/duka".

Untuk menghindar dari duka itu, bagi umat kristen sebagai tuan rumah perayaan Valentine's Day, perlu menengok ulang tradisi tersebut, apakah betul-betul menjadi motivasi menebarkan kasih sayang yang menimbulkan kebahagian masa depan atau hanya kebahagiaan sesaat yang merusak masa depan, sehingga perlu dipertimbangkan ulang eksistensinya. Sedangkan bagi umat Islam, lebih-lebih insan pesantren sebagai basis generasi Islam, kita yang sebetulnya sudah memiliki peradaban yang utuh dan lengkap jangan mudah tergiur oleh budaya-budaya lain yang destruktif. Ironisnya, selama ini justru orang lain yang mengamalkan keutuhan peradaban kita kemudian kita hanya menjadi pengekornya. Lebih parah lagi, acapkali kita menjadi penikmat setia budaya yang jelas-jelas kontras dengan budaya kita, semisal valentine's day ini.

Oleh karena itu, kita harus kembali kepada identitas sejati kita sebagai umat Islam yang utuh dan jaya. Dalam bertindak jangan hanya dipertimbangkan dengan rasionalitas tapi juga dengan nurani. Sehingga, kita bisa menyaring mana budaya luhur dan kebahagiaan sejati. Dari semua itu, Valentine's Day sebetulnya menjadi ujian atau cobaan umat muslim pada khususnya dan seluruh manusia pada umumnya dalam bentuk keindahan dan kesenangan, "Adakah orang yang pekerjaannya buruk dianggap baik lalu menjadi baik?" (Q.S. 35: 8). Seringkali keindahan membawa duka, kita harus selalu waspada. (Pernah dimuat di Radar Madura, Jawa Pos Group).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar