Selasa, November 24, 2009

24 November, Ulang Tahun Eksistensi Saya


Hari ini pas ulang tahun saya. Ulang tahun bukan berarti kelahiran, kapan saya pertama kali nongol ke dunia ini dari perut ibu saya. Tapi, ulang tahun kapan tulisan saya awal kali dimuat di media massa. Dibaca masyarakat luas.

Saya bilang, ini adalah eksistensi saya, karena saya bermimpi jadi penulis yang baik. Menegakkan kebenaran dengan pena. Bukan dengan mulut berbusa, atau pedang, atau bom.

Sudah bosan dengan mulut berbusa, toh hanya ngomongnya saja. Manusia sudah pinter ngomong semua. Dan, sudah terlalu trauma dengan pedang dan bom, toh hanya lebih mengacaukan dunia saja.

Dan, sungguh betapa indah dengan tulisan, meski hanya sekedar pelengkap bapak-bapak atau ibu-ibu minum kopi hangat di pagi hari; meski sekedar sahabat orang yang sedang kesepian; atau, meski sebagai pengantar tidur anak-anak kecil di malam hari. Itu lebih mendamaikan.

Menulis itulah diri saya. Saya ada kalau saya dianggap ada oleh dunia. Saya dianggap ada oleh dunia kalau saya menulis. Saya bukan tubuh saya. Tubuh ini dan nama ini hanya instrumen adanya saya. Tapi saya sendiri adalah tindakan saya dalam tulisan nyata saya, pikiran saya, suara nurani saya. Itulah eksistensi saya. Saya yang sesungguhnya, sejatinya. Meski masih dalam mimpi.


Saya tidak akan ingat ulang tahun ini seandainya saya tidak mengalami masalah gara-gara tulisan kontroversial-problematif kemaren (17 November 2009). Sehingga, sungguh meski agak sedih dicampur sial, bukan menyesal, saya mendapatkan banyak hikmah darinya. Tapi, tidak mengharap terjadi lagi meski berhikmah.

Saya ingat waktu itu, 24 Noverber 2008 M. Batapa bangganya ketika pertama kali tulisan saya dimuat di koran Radar Madura setelah berhari-hari ditunggu dan berkali-kali diedit dan dikirim. Sungguh, amat sangat sulit. Sehingga ketika dimuat, betapa dada seluas angkasa.

Saya ingat, bagaimana saya mengedit tulisan itu dan dicorat coret oleh guru yang memeriksanya serta setelah dikirim tidak dimuat-muat. Maklum saya nulis serius seperti itu pertama kali. Saya baru latihan nulis serius mau dipubikasikan waktu itu saja. Apalagi saya bukan orang yang berlatar belakang ikut kelompok-kelompok kajian ilmiah belajar nulis seperti sanggar-sanggar sastra. Saya betul-betul belajar otodidak bermodal nekat. Karena itu, sungguh bahagianya sedunia ketika dimuat meski hanya level lokal, Radar Madura.

Saya juga ingat Ibnu Hajar budayawan Sumenep, yang mengabadikan tulisan saya dibukunya yang juga kontraversial berjudul " Kiai di Tengah Pusaran Politik".

Dia telah menjadikan catatan perdana saya tersebut sebagai salah satu referensi penyusunan buku tersebut yang sempat menggegerkan jagat Madura sebagai komunitas masyarakat yang paling kental dengan tradisi kharisma kekiaiannya.

Saat ini saya berpikir, mau diisi apa ulang tahun kini. Ngajak teman pestakah? Itu tidak mungkin karena saya tidak punya uang. Atau, teriak-teriak di padang luaskah. Itu tambah tidak mungkin juga, tidak ada gunanya. Atau, jalan-jalan ke manakah? Itu juga tidak mungkin, menambah capek saja. Akhirnya, entah dengan apa saya harus mengisi ulang tahun sebagai sejarah terindah ini.

Tapi, saya hanya bisa merenungi, sungguh berat merangkai mimpi hanya dengan modal nekat seperti saya ini. Mewujutkan mimpi tidak semudah membangun tembok Cina. Ada aral melintang dan air mata menggenangi jalan.

Lalu saya heran, bagi mereka yang memiliki modal segalanya, uang melimpah, tubuh sehat, peluang banyak, dan segalanya serba ada, tapi tak sampai-sampai menuju mimpi, bahkan tak punya mimpi sama sekali, atau semuanya digunakan hanya untuk senang-senang.

Sehingga saya menjadi berkesimpulan, ternyata mimpi tidak muluk-muluk, tak butuh ini itu. Simpel saja, dia hanya butuh tekat, keseriusan, dan lebih dari itu adalah cinta.

Tentang cinta ini saya ingat pelajaran Maharat Arabiyah. Di dalamnya dicontohkan kalimat indah yang berbunyi, "Wa ahibbal amal lilwushul ilaihi tasy'ur bi sa'aadatin la tuqdar", "Dan cintailah pekerjaanmu untuk sampai kepadanya niscaya kamu akan merasakan kebahagiaan yang tak terhingga". Maksudnya, tidak ada kegagalan dalam bercita dengan cinta. Ada keberhasilan yang tak terduga dan tak terhingga. Cinta ini kalau dalam agama saya yakin adalah ikhlas.

Akhirnya, selain saya hanya bisa mencatat, "entah dengan apa saya harus mengisi ulang tahun sebagai sejarah terindah ini" hari ini, saya juga hanya bisa berucap, terima kasih banyak terhadap mereka-mereka yang telah ikut andil mengingatkan saya kepada sejarah ini.

Terutama mereka: para Asatidz yang mulya. Yang saking cintanya kepada saya menggugat catatan saya yang problematis itu, sehingga saya betul-betul dapat pelajaran berharga darinya, meski saya harus mengakui apa yang tidak di nurani saya secara terpaksa. Akan saya kenang kalian semua.

Dan juga, Ibnu Hajar budayawan berani yang mengabadikan tulisan perdana saya di bukunya, meski merujuknya tanpa izin dari saya. Saya simpan bukumu itu bagus-bagus sampai sekarang, dan kapanpun. Saya sangat ikhlas dan sangat berteri makasih.

Sekaligus, yang lebih dari semuanya, Ibu Bapak saya pejuang hidup tergagah saya, seluruh famili saya penyemangat teraktif saya, dan adik saya yang terindah dalam hidup ini "Jane", namamu yang paling menyejarah dalam hidup saya selain pahlawan tergagah saya. Doa kalian semua ada diujung pena.

24 November 2009 M


Tidak ada komentar:

Posting Komentar