Senin, November 16, 2009

Khotib Jum’at dan Fenomena Artis

Jum’at kemaren (13/11), rupanya suasana para jama’ah salat jum’at di Masjid Jami’ Al-Amien lumayan sumringah. Karena khotibnya amat sangat menarik menyampaikan kata-katanya sehingga enak didengar, plus menyentuh hati dan mudah dipahami oleh siapapun. Baik oleh jama’ah dari kalangan orang tani, buruh, tukang becak, lebih-lebih dari kalangan akademis.
Saya sebagai bagian dari para jama’ah menjadi tidak berpikiran tentang isi atau substansi khutbahnya. Malah saya berpikiran tentang khotibnya. Yaitu, hebat banget orang itu merangkai kata sekaligus bergaya memikat dalam khutbahnya. Suaranya yang menggema bebas, mimik yang halus dan selaras, serta isi khutbah yang menyentuh hati. Bagaimana beliau memformat segalanya itu sedemikian asik.
Rasanya, dilihat dari kehebatannya itu, beliau tidak kalah hebatnya dari pada ustadz-ustadz baru yang belakangan makin bermunculan di televisi memberikan ceramah-ceramahnya kepada para pemirsa dengan berbagai latar belakang, nuansa gaya, dan sebutan. Seperti, ada ustadz yang ceramahnya bernuasa shodaqah, Manajemen Qalbu, liberal, kasih sayang, bahkan ada yang bernuasa cinta yang disebut dengan Ustadz Cinta.
Lalu saya menyadari, begitulah manusia. Tiap pribadi memiliki kemampuan atau kelebihan masing-masing, sesuai dengan potensi diri dan bidangnya. Kemampuan atau potensi itu beraneka ragam. Nah, dari kemampuan atau potensi yang dimiliki masing-masing itulah manusia mempertahankan hidupnya, sekaligus menjalankan visi dan misi penciptaan dirinya hidup di dunia ini.
Ada yang penyair, dia hidup dengan lirik-lirik syairnya; Ada yang hidup dengan kaligrafinya, berarti dia ahli dalam dunia hias kaligrafi; ada yang hidup dari dagangannya berarti dia lihai dalam bisnis; dan ada yang hidup dari becaknya, berarti dia tukang becak. Sedangkan khotib hebat di atas, berarti hidup dengan ceramah-ceramahnya, karena memang ahli ceramah.
Lain lagi dengan Inul, dia hidup bahagia dengan goyangan ngebornya, sedangkan artis Julia Peres atau Dewi Persik hidup kaya raya dan bahagia dengan gaya buka-bukaannya (lain kata dari aurat/porno) yang sering kita saksikan di berbagai media massa.
Potensi-potensi pribadi itu juga menjadi jalan mengabdi atau mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan kelebihan dan potensi masing-masing, manusia berdzikir kepada Tuhannya. Para kiai berdzikir dengan taushiyah-taushiyahnya, para guru dengan pengajarannya, para pemimpin dengan keadilannya, para petani dengan cangkul-cangkulnya, burung-burung dengan kicauannya, samudra dengan gelombangnya, dan sebagainya.
Dan, entah, apakah goyangan ngebornya Inul atau tampilan buka-bukaan-nya Julia Peres dan kawan-kawannya yang searah bisa dianggap sebagai dzikir dan Tuhan menerimanya. Kalau cuma bisa hidup senang-senang dengan itu di dunia ini sudah pasti. Selebihnya saya tidak tahu.
Di samping itu, dengan beraneka ragamnya potensi atau kelebihan manusia tersebut kehidupan menjadi utuh. Tiap-tiap ragam saling memenuhi. Sehingga timbullah interaksi.
Sang khotib tidak akan berkhutbah kalau tidak ada para jama’ah yang mendengarnya. Pak guru tidak bisa mengajar kalau tidak ada yang berposisi sebagai muridnya. Dan, orang kaya tidak akan pernah kaya kalau tidak ada para kuli yang mau bekerja.
Semua kelebihan itu, baik yang di depan mata seakan ada yang lebih; lebih tinggi atau rendah, lebih hina atau terhormat, sejatinya tidak begitu, semuanya sama di depan Tuhan, sebagai jalan yang berlomba-lomba menuju kepada-Nya. Menjadi legitimasi terhadap rumusan ini Tuhan menjelaskan, ”Kullui ya’malu ’ala syaakilatihi”, ”Tiap-tiap ciptaan berjalan di atas jalannya sendiri”.
Hanya saja, ada yang cepat sampainya, ada juga yang lambat. Inilah perbedaannya. Yang cepat dan yang lambat ini dipengaruhi oleh suasana hati masing-masing. Bukan dipengaruhi oleh bentuk atau jenis potensinya. Yang jadi kiai bukan berarti lebih cepat sampainya dari pada yang tani. Suasana hati itu adalah serius dan ikhlas.
Jadi, hanya yang serius dan ikhlaslah yang lebih cepat sampainya dari pada yang kurang serius dan ikhlas, apalagi yang tak ikhlas, selain caranya yang diridhai Tuhan. Cara yang baik sekaligus ikhlas itulah yang cepat sampai kepada Tuhan. Caranya baik tapi tidak ikhlas percuma saja. Caranya buruk tapi ikhlas ya percuma juga. Apalagi caranya buruk plus tak ikhlas.
Julia Peres dan artis-artis lainnya yang berniat untuk menegakkan kebenaran atau kebaikan dan seni dengan goyangan atau dengan tampilannya yang buka-bukaan, mereka sangat ikhlas, yakin, dan bahagia. Hanya saja, apakah Tuhan menganggapnya sebagai bagian jalan menuju kepada-Nya, atau jangan-jangan justru sebagai penghinaan. Sekali lagi saya tidak bisa memutuskannya.
Maka dari itu, tidak usah sedih atau keder bagi mereka yang kayaknya di mata sosial ada di kelas yang terbawah; para buruh, tani miskin, dan orang-orang yang amatiran. Sebab, semuanya sama di depan Tuhan. Sama-sama memiliki peluang atau jalan menuju keridhaan dan cinta-Nya, sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing.”Sesungguhnya orang yang paling mulya diantarai kalian di sisi Allah adalah dia yang paling bertaqwa”. Demikian firman Tuhan. Taqwa ada dihati, dan unsur hati adalah serius dan ikhlas.

(Artikel ini pernaah dimuat di Koran Radar Madura Jawa Pos Group tangal 16 November 2009 M)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar