Kamis, November 12, 2009

Takdir Tuhan dan Tradisi Masyarakat

Sejenak kita berbincang mengenai persoalan teologis, setelah kita membahas banyak seputar politik, pendidikan, dan sebagainya. Sebab, berbicara teologi berarti berbicara agama. Sedangkan agama mempengaruhi segala unsur kehidupan, termasuk politik, ekonomi, dan tradisi. Artinya, sebagai makhluq religius, manusia tidak boleh tidak menjadikan agama sebagai standart referensi dari segalanya.

Sering kita jumpai, seorang bapak atau ibu di saat mengalami musibah atau segala hal yang tidak menyenangkan, misalnya kemiskinan, kehilangan, kerugian, kekalahan, dan kecelakaan, dia mengatakan, ini sudah taqdir Tuhan.

Begitu juga saat menerima kebahagiaan, misalnya dapat rizqi banyak, kemenangan, dan naik pangkat, akan dikatakan, ini adalah taqdir keberuntungannya. Tidak jauh demikian tradisi teologis yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, lebih-lebih masyarakat awam pedesaan.

Di samping itu, seringkali nasib tidak menyenangkan tersebut menjadi motif destruktif struktur kehidupan lainnya, semisal terorisme. Ada yang berasumsi, salah satu motifnya adalah kemiskinan.

Lebih dari itu, acapkali taqdir Tuhan menjadi pelarian manusia untuk hidup skeptis dan malas. Semua ini menjadi persoalan akut yang sebetulnya melengkapi penyakit masyarakat akhir-akhir ini, selain penyakit-penyakit fisik, budaya, dan kepercayaan. 

Persoalan taqdir sudah menjadi variabel wacana teologis sejak zaman klasik. Zaman munculnya dua aliran teologis kontraversial dalam Islam, Jabariah dan Qodariah. Pada saat itulah wacana takdir Tuhan mulai lebih serius diperbincangkan. Bukan hanya oleh kalangan teolog namun juga merambah ke kalangan filosof, ahli fiqih, seniman, dan para sufi. 

Qadariah berpandangan bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kekuatan paten untuk mengubah hidupnya sendiri. Di dalamnya tidak ada keterlibatan Tuhan sama sekali. Tuhan mencipta manusia dengan segala potensinya lalu memberikan kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri, termasuk diberi akal. Nasib menjadi hak veto pilihan manusia itu sendiri. 

Konsekwensi praktisnya, apa pun yang terjadi dalam kehidupan ini, baik berupa kesediaan-kesedihan (musibah) maupun berupa kebahagiaan-kebahagiaan, semuanya karena ulah manusia itu sendiri.

Misalnya, terjadinya aksi bom bunuh diri, penyebabnya adalah dikembalikan kepada manusia. Ada keterlibatan penuh manusia di dalamnya, bukan Tuhan. Maka, harus dicari pelaku dan solusinya sehingga tak terulang lagi di masa selanjutnya. 

Adapun Jabariah, paham ini lebih mengandalkan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan ketimbang manusia. Manusia tidak memiliki kemampuan apa-apa dalam segala urusan hidupnya. Semuanya tergantung dan ditentukan oleh kekuasaan dan kehendak Tuhan (Takdir). Manusia tidak terlibat sedikit pun di dalamnya.

Dari pandangan ini, kita bisa menggambarkan, manusia ibarat boneka di tangan manusia, dia seratus persen bergerak sesuai dengan maunya tangan tersebut. Bahagia susahnya manusia berada pada kekuasan dan kehendak Tuhan per se. Sehinga, manusia hanya menjalani ketetapan dan kehendak Tuhan tersebut. Manusia hidup dalam lingkaran takdir Tuhan.


Terkait dengan dua aliran teologis klasik ini, sampai saat ini-penulis mengkategorikan-masyarakat terpecah menjadi dua golongan fanatik, sengaja maupun tidak sengaja: fanatik mewarisi pandangan Qadariah dan fanatik mewarisi pandangan Jabariah. Termasuk contoh masyarakat di atas.

Lalu bagaimana seharusnya kita bersikap, ikut Jabariah atau Qadariah? Bagi penulis, semuanya bisa diikuti berdasar situasi dan kondisinya, dalam artian tidak fanatik. Misalnya, kita sedang digoncang aksi bom bunuh diri (terorisme), maka kita bisa menjadikan pandangan Qadariah sebagai referensi. Sebab, semua itu melibatkan orang dibaliknya, yaitu para pelaku jahat atau teroris. Kita harus melacak pelakunya sampai ketemu sehingga tidak terjadi selanjutnya. Begitu juga aksi-aksi kriminal, dan sejenisnya. Kita tidak bisa mengatakan, semua itu sebagai ulah Tuhan, sehingga kita hanya harus menerimanya dengan sabar, mengambil hikmah, dan banyak istigfar.

Namun, ketika kita dilanda musibah semisal gempa, stunami, banjir, dan badai, kita tidak akan pernah bisa melakukan investigasi manusia sebagai pelakunya secara langsung. Kecuali kekuatan yang memang di luar jangkauan manusia, Tuhan. Bagaimana pun caranya, manusia tidak akan pernah menemukan siapa manusia pelaku bencana-bencana itu.  Di sinilah kita berkaca kepada Jabariah. Kita hanya bisa kembalikan semuanya kepada Tuhan. Mengambil khikmah darinya. Dan, mungkin juga, banyak-banyak beristigfar.

Akhirnya, dengan begitu, kita bisa menggambarkan bahwa manusia memiliki kekuatan  berupa segala potensi atau bekal yang diberikan Tuhan, yaitu berupa para Nabi, kitab pedoman (Al-Quran), akal pikiran, panca indra, pengetahuan, teknologi dan sebagainya, sehingga bebas menentukan atau mengembangkan peradaban hidup di bumi ini (fungsi manusia sebagai kholifah)

Namun, kekuatan dan kebebasan itu terbatas. Sebab, tidak semua urusan dapat dijangkau oleh potensi dan bekal-bekal tersebut. Itulah kekuasaan dan kehendak Tuhan (Fungsi manusia sebagai hamba Tuhan).

Bukankah dengan kemampuan kita, kehebatan ilmu, dan kecanggihan teknologi, kita tidak menginginkan terjadinya gempa bumi, tapi kenapa tetap terjadi di luar praduga dan kemauan kita itu? Begitu juga, kita bukan berarti sebagai boneka yang kaku dan mati di tangan Tuhan. Kita memiliki tanggung jawab peradaban di semesta ini.

1 komentar:

  1. woyyyyyyyyy..............
    "kamu adalah tuhan bagi dirimu"
    filsafat siapa yang elu pake hah?
    percuma punya nama islami tapi hatinya non islam,,,,
    he he

    BalasHapus