Kamis, Desember 17, 2009

Filosofi Keinginan dan Cita-Cita


Dalam hidup ini, pasti manusia memiliki sebuah keinginan, ambisi, cita-cita, dan lebih nyastra sedikit disebut mimpi-mimpi. Baik secara masa pendek maupun masa panjang.

Masa pendek misalnya, ingin beli baju baru, ingin beli sepeda motor, ingin beli mobil, ingin punya perusahaan, atau bahkan ingin punya pesawat pribadi. Yang masa panjang misalnya, ingin menjadi insinyur, ingin menjadi pejabat, ingin menjadi dokter, ingin menjadi mentri, atau ingin menjadi presiden.

Masa panjang pendeknya sebuah keinginan itu relatif, tergantung dari pada latar belakang pribadinya. Bagi orang yang kaya raya, beli mobil itu bukan lagi menjadi keinginan, tapi kebiasaan. Mobil sudah ada. Ingin yang lebih baru kapan saja, tinggal pergi ke dieller mobil tanpa menunggu hari.

Tapi, bagi yang kondisi ekonominya biasa-biasa saja, beli mobil menjadi sebuah keinginan yang masanya bisa panjang, bahkan menjadi cita-cita seumur hidupnya. Apalagi bagi yang miskin, bisa jadi bukan menjadi keinginan lagi tapi mimpi di siang bolong atau-meminjam istilahnya Paterpen- khayalan tingkat tinggi.

Oleh karena itu, menjadi terkesan, antara istilah keinginan dan cita-cita, keinginan lebih bersifat fisik dan jangka pendek, seperti beli-beli di atas. Tapi, kalau cita-cita cenderung bersifat nonfisik dan lebih memasa depan. Biasanya terkait dengan profesi dan posisi, seperti dokter atau pejabat. Karena bagi siapapun ini tidak bisa langsung dicapai. Tidak seperti keinginan fisik yang bisa langsung dicapai sesuai dengan latar belakang ekonominya.

Oleh karena itu, anak di sekolah ditanya sama gurunya dengan lebih sering menggunakan ungkapan, kalau sudah besar cita-cita kamu apa. Bukan ditanya dengan, kalau sudah besar kamu ingin apa? Kecuali pada ungkapan, kamu ingin beli buku apa, tidak mungkin bilang, kamu bercita-cita beli buku apa. Ungkapan yang pertama lebih pantas.

Tapi bagi orang miskin, bisa jadi yang sifatnya fisik menjadi cita-cita kalau memang jangka sampainya butuh waktu yang panjang dan perjuangan berat. Seperti orang miskin ingin beli mobil. Maka, pantas saja ketika ditanya, cita-cita kamu apa? lalu dia menjawab, cita-cita saya nanti beli mobil mewah. Tapi ini tidak pantas bagi yang kaya raya, karena langsung bisa dapat.

Sehingga kalau dipikir-pikir, keberhasilan dalam bercita-cita itu tergantung dari usaha dan keseriusan pribadi seseorang, bukan tergantung dari melimpahnya harta uang atau tingginya posisi sosial. Bercita-cita menjadi dokter siapa saja bisa, meskipun yang miskin papa. Asal punya kemauan tinggi, proses panjang, dan usaha keras.

Ini banyak terbukti. Misalnya, anaknya nelayan miskin jadi kiai besar dan terkenal, anaknya orang tani amatiran menjadi pejabat tinggi terkenal, anaknya penjual rujak di pedalaman jadi cendikiawan terkenal, serta banyak yang lainnya. Dan, justru tidak sedikit anaknya orang yang kaya raya jadi gelandangan, pecundang, pengangguran, dan sejenisnya.

Inilah keadilan Tuhan, mencipta cita-cita bagi siapa saja. Semuanya sama-sama memiliki peluang untuk bercita-cita tinggi. Oleh karena itu, orang bilang, bercita-citalah setinggi langit. Artinya, kalau sekalian bercita-cita jangan nanggung-nanggung soalnya cita-cita itu masa depan yang menentukan bahagia tidaknya seseorang.

Ini memiliki makna filosofis. Yaitu, jika cita-citanya amat tinggi, taruhlah misalnya ingin menjadi presiden, kan paling tidak gagalnya jadi mentri. Atau, bercita-cita mau menaiki puncak Himalaya, kan jatuhnya paling tidak di gunung merapi, masih tinggi. Tapi kalau cita-citanya nanggung, misalnya bercita mau jadi kepala desa, ya apesnya jadi rakyat biasa. Atau, bercita mau menaiki puncak bromo, maka jatuhnya ke lembah.

Jadi, kalau bercita-cita harus amat sangat tinggi sekali, sehingga paling tidak kalau gagal masih tinggi. Tapi kalau cita-citanya nanggung-nanggung atau tidak tinggi, ya jatuhnya rendah.

1 komentar: