Masa pendek
misalnya, ingin beli baju baru, ingin beli sepeda motor, ingin beli mobil, ingin
punya perusahaan, atau bahkan ingin punya pesawat pribadi. Yang masa panjang
misalnya, ingin menjadi insinyur, ingin menjadi pejabat, ingin menjadi dokter,
ingin menjadi mentri, atau ingin menjadi presiden.
Masa panjang
pendeknya sebuah keinginan itu relatif, tergantung dari pada latar belakang
pribadinya. Bagi orang yang kaya raya, beli mobil itu bukan lagi menjadi
keinginan, tapi kebiasaan. Mobil sudah ada. Ingin yang lebih baru kapan saja,
tinggal pergi ke dieller mobil tanpa menunggu hari.
Tapi, bagi yang
kondisi ekonominya biasa-biasa saja, beli mobil menjadi sebuah keinginan yang
masanya bisa panjang, bahkan menjadi cita-cita seumur hidupnya. Apalagi bagi
yang miskin, bisa jadi bukan menjadi keinginan lagi tapi mimpi di siang bolong
atau-meminjam istilahnya Paterpen- khayalan tingkat tinggi.
Oleh karena itu,
menjadi terkesan, antara istilah keinginan dan cita-cita, keinginan lebih
bersifat fisik dan jangka pendek, seperti beli-beli di atas. Tapi, kalau cita-cita
cenderung bersifat nonfisik dan lebih memasa depan. Biasanya terkait dengan
profesi dan posisi, seperti dokter atau pejabat. Karena bagi siapapun ini tidak
bisa langsung dicapai. Tidak seperti keinginan fisik yang bisa langsung dicapai
sesuai dengan latar belakang ekonominya.
Oleh karena itu,
anak di sekolah ditanya sama gurunya dengan lebih sering menggunakan ungkapan, kalau
sudah besar cita-cita kamu apa. Bukan ditanya dengan, kalau sudah besar kamu
ingin apa? Kecuali pada ungkapan, kamu ingin beli buku apa, tidak mungkin
bilang, kamu bercita-cita beli buku apa. Ungkapan yang pertama lebih pantas.
Tapi bagi orang
miskin, bisa jadi yang sifatnya fisik menjadi cita-cita kalau memang jangka
sampainya butuh waktu yang panjang dan perjuangan berat. Seperti orang miskin
ingin beli mobil. Maka, pantas saja ketika ditanya, cita-cita kamu apa? lalu
dia menjawab, cita-cita saya nanti beli mobil mewah. Tapi ini tidak pantas bagi
yang kaya raya, karena langsung bisa dapat.
Sehingga kalau
dipikir-pikir, keberhasilan dalam bercita-cita itu tergantung dari usaha dan
keseriusan pribadi seseorang, bukan tergantung dari melimpahnya harta uang atau
tingginya posisi sosial. Bercita-cita menjadi dokter siapa saja bisa, meskipun
yang miskin papa. Asal punya kemauan tinggi, proses panjang, dan usaha keras.
Ini banyak
terbukti. Misalnya, anaknya nelayan miskin jadi kiai besar dan terkenal,
anaknya orang tani amatiran menjadi pejabat tinggi terkenal, anaknya penjual
rujak di pedalaman jadi cendikiawan terkenal, serta banyak yang lainnya. Dan,
justru tidak sedikit anaknya orang yang kaya raya jadi gelandangan, pecundang,
pengangguran, dan sejenisnya.
Inilah keadilan Tuhan,
mencipta cita-cita bagi siapa saja. Semuanya sama-sama memiliki peluang untuk
bercita-cita tinggi. Oleh karena itu, orang bilang, bercita-citalah setinggi
langit. Artinya, kalau sekalian bercita-cita jangan nanggung-nanggung soalnya
cita-cita itu masa depan yang menentukan bahagia tidaknya seseorang.
Ini memiliki
makna filosofis. Yaitu, jika cita-citanya amat tinggi, taruhlah misalnya ingin
menjadi presiden, kan
paling tidak gagalnya jadi mentri. Atau, bercita-cita mau menaiki puncak
Himalaya, kan
jatuhnya paling tidak di gunung merapi, masih tinggi. Tapi kalau cita-citanya
nanggung, misalnya bercita mau jadi kepala desa, ya apesnya jadi rakyat biasa.
Atau, bercita mau menaiki puncak bromo, maka jatuhnya ke lembah.
Jadi, kalau
bercita-cita harus amat sangat tinggi sekali, sehingga paling tidak kalau gagal
masih tinggi. Tapi kalau cita-citanya nanggung-nanggung atau tidak tinggi, ya
jatuhnya rendah.
filosofisnya dimana........?????
BalasHapus