Rabu, Maret 24, 2010

Ini Betul-Betul Tirakat

Kalau dipikir-pikir, kadang lucu, tapi kadang juga menyusahkan. Kata orang, kalau belajar, lebih-lebih ngaji atau menghafal Al-Quran di pesantren, itu harus dibarengi dengan tirakat.

Tirakat, dalam pengertian secara denotatif, saya tidak mengerti. Tapi, saya dapat memahami dengan, meninggalkan sesuatu yang sewajarnya, atau meninggalkan sesuatu yang mengenakkan atau memanjakan diri. Lebih ekstrimnya lagi, seakan-akan sengaja melatih diri atau membuat diri terbiasa penuh derita sebagai jalan menuju kebahagiaan di saat-saat selanjutnya. Misalnya, puasa mutih yang bukanya hanya dengan nasi putih dan garam saja; menyepi di tempat-tempat angker: mengurung diri dalam kamar; tidak tidur dalam beberapa hari; tidak ngomong; musafir dengan jalan kaki telanjang tanpa bekal materi apapun, dan sejenisnya.

Di sini, tirakat yang saya maksud bukan sampai kepada tingkat yang ekstrim, yang biasa saja. Yaitu, tidak memanjakan diri untuk selalu enak-enak. Bahasa gamblangnya, belajar serius, berusaha keras, menyedikitkan makan, tidak main-main, dan konsisten. Ini menurut saya tirakat yang sebenarnya.

Nah, tirakat seperti ini yang harus saya praktekkan sekarang di pesantren yang baru, lebih-lebih dalam menghafal Al-Quran ini. Dan, ini memang sudah merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, akan sulit menghafal kalau kerjanya cuma makan, sibuk urusan perut; atau akan rumit menghafal kalau kerjanya cuma ngotak-ngatik HP, sms atau fritok mania; atau akan ruwet menghafal kalau pikirannya selalu menghayal ke mana-mana, apalagi hobi pacaran.

Di pesantren yang baru ini, betul-betul saya rasakan tirakat itu. Tentunya, tidak enak saya rasa, bahkan sesekali terasa menyiksa.  Betapa tidak, biasanya saya makan tiga kali sehari di rumah, eh sekarang malah dua kali sehari, dikit atau dijatah lagi. Jadinya, perut saya sering keroncongan, bahkan kalau sudah sore terasa sakit berdenyut-denyut, maklum makan pertama sekitar jam 10-an dan ke dua kalinya setelah isya, jam 19-an.

Tapi, saya harus selalu menyadari, bahwa ini sebuah proses. Memang sangat amat sulit meninggalkan kebiasaan yang sudah mendarah daging, bahkan menjadi kebutuhan. Dan, saya sangat amat yakin, kalau sudah terbiasa dengan hal-hal yang lebih baik dan serius, maka saya akan bisa mencapai apa yang saya mau, hidup sukses bahagia dunia akherat. "Sesungguhnya, setelah kesulitan ada kemudahan (kebahagiaan)." Ini janji Tuhan dalam Ayat-Nya. Bahkan, saking seriusnya Tuhan, sampai-sampai diulangi dua kali sumpah-Nya. Subhanallah. Ini betul-betul sebuah kepastian, kenyataan, dan amat sangat kongkrit sekali. 
Hanya saja, proses tersebut harus disertai dengan keyakinan, ikhlash, dan konsisten. "Katakanlah, saya beriman kepada Allah, lalu konsistenlah." Demikian keterangan Ayat Tuhan.

Lawang, 23/03/2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar