Senin, Oktober 01, 2012

TAUHID ALAM DAN CAROK RELIGIUS (Cara Hidup Beragama Bersama Alam)


Membahas tauhid secara spritual apalagi secara sufistik saya tidak begitu mengusai. Mau nekat takut salah. Mengingat ini masalah hati atau rasa keyakinan yang bertabir amat tipis dengan kafir, syirik, murtad, atau memakai bahasa yang lebih marak lagi "sesat". Jadi, kalau sembarangan berbicara soal tauhid arahnya ya sesat. Lebih-lebih zaman sekarang, kata sesat menyesatkan gampang diucapkan oleh orang-orang yang dampaknya tidak main-main, perang. Contohnya, belakang yang terjadi "carok religius" di Omben Sampang Madura. Itu hanya karena ucapan sesat menyesatkan, toh pada awalnya konon bermotif asmara.

Saya pilih yang lebih gampang dan simpel saja memahami tauhid ini. Yakni memakai cara pandang keberagamaan orang-orang awam pedesaan. Atau, karena saya juga orang pasaran maka saya pahami dari obrolan sehari-hari saat berinteraksi dengan orang-orang pasar dan petani di pedesaan.

Tauhid, berarti konsep pandangan dan keyakinan memusatkan segalanya kepada Tuhan yang Maha Tunggal. Yakni, syahadat; tidak ada Tuhan selain Allah, segalanya berasal dari dan kembali kepada Allah.

Tauhid alam, berarti menyadari konsep pemusatan dan penyatuan itu dengan mengamati dan merenungi fenomena alam secara langsung. Misalnya, terjadi gunung meletus. Kita menyaksikannya lalu berpikir dan merenungi bahwa gunung itu tidak akan pernah meletus kecuali karena Tuhan sudah menghendaki dengan tujuan tersendiri. Atau terjadi fenomena tabrakan di jalan, lalu kita menyadari bahwa kecelakaan tersebut karena kehendak Tuhan dan manusia tidak kuasa apa-apa, manusia amat kerdil. Ketika Tuhan berkehendak maka tidak ada yang bisa menolak, suka maupun tidak suka. “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia.” (QS, 36: 82)

Saya pribadi amat bersyukur sekali diberi jalan hidup berotasi di jalanan atau di pasar-pasar sehingga dapat bertemu dengan berbagai macam tipe orang dalam memahami dan memprilakukan hidup ini. Dari perjalanan itu lama kelamaan saya dapat membaca dan memahami hidup ini. Dan pada intinya, semua manusia sama-sama mengakui adanya kekuatan yang Maha Dahsat seraya mengakui kelemahannya sendiri meski hanya sebatas dalam obrolan. Kekuatan Maha Dahsat itulah yang disebut dengan Tuhan melalui cara dan jalannya masing-masing yang kita kenal dengan agama.

Saya sering jagongan dengan seorang petani yang gagal panen. Dia berkata, “Tahun ini saya gagal panen. Tanaman padi saya ludes dimakan tikus. Anehnya, hanya semalam dilalap tikus langsung habis tidak disangka-sangka”. Lalu dia menyadari, “Tapi saya tetap bersyukur sekali kepada Tuhan, masih untung tikus-tikus itu tidak disuruh makan saya oleh Yang Kuasa.” Imbuhnya.

Suatu waktu, saya bertemu dengan mantan pengusaha besar yang bangkrut lalu ingin bangkit lagi dengan mracang kecil-kecilan di pasar. Dia berkata, “Saya dulu pernah jaya, karyawanku banyak dan mobilku gonta ganti, dan sekarang aku udah jatuh mulai dari nol lagi. Itulah dunyo, cuma sekedar titipan, kalau yang Maha Punya mau mengambilnya kembali, apa boleh buat. Dan saya sangat bersyukur bukan sayanya yang diambil, sehingga saya masih sehat dan kuat berusaha kembali.”

Suatu saat lain, di desa saya ada seorang yang dulunya miskin sekali. Tiba-tiba sekarang dia kaya raya punya pabrik bahan dasar obat nyamuk dan karyawannya banyak. Para tetangga melihatnya dan diantara mereka berkata, “Begitulah nasib orang tidak disangka-rangka, Le’ seng Kuoso wes kadung mbuka jalane maka orang akan jaya.

Di lain kesempatan, saya bertemu dengan seorang yang banyak tamunya karena keahliannya dalam mengobati orang sakit dan menyelesaikan masalah, sebutlah dukun. Dia berkata, “Memang sudah tugas saya begini, saya masak bisa menyembuhkan sakit, yang bisa hanya Allah, saya sekedar perantara saja.”

Saya juga pernah berbincang dengan seorang supranatural dan dia kolektor pusaka-pusaka keris dan barang antik. Dia berkata, “Sebetulnya keris ini tidak ada apa-apanya mas, cuma dulu para empu membuatnya dengan tirakat dan doa memohon kepada Tuhan yang Maha Kuasa agar di dalamnya diberi kekuatan buat kesejahteraan masyarakat, misalnya kekuatan dalam perang. Kekuatan itu disebut Yoni atau khoddam. Sebetulnya, itu adalah kekuatan keikhlasan doa mereka. Maka, memang menjadi musyrik jika orang menganggap keris ini sakti lalu dimintai perlindungan, kewibawaan, pesugihan, dan sejenisnya.”

Bukankah fenomena-fenomena di atas amat tauhid sekali?

Pada sisi lain yang bersebrangan dengan tauhid itu, fenomena syirik, murtad, atau kafir. Say` sering berjumpa dengan seseorang yang berkata, “Sekarang itu yang penting uang mas. Jadi orang pinter percuma kalau ga’ punya uang. Makanya cari uang yang giat.”

Begitu juga ketika saya berziaroh ke makam kramat di sekitar Malang. Pasti di setiap makam ada orang-orang yang nyepi hanya mengharap petunjuk nomor togel dari makam itu dengan ritual nyepi, sesajen dan sejenisnya. Padahal, tidak ada latar belakangnya makam para wali itu dapat memberi nomor togel jitu, kecuali karena manusianya itu yang terlalu gelap dikepung angkara dunia, sehingga menghalalkan segala cara.

Sama halnya ketika saya mengunjungi pantai Ngliyep selatan Malang. Di sana ada tempat ritual spesial yang sengaja dibuat semacam goa, gunung kombang, dan sendang kamulyan misalnya. Konon di situ banyak digunakan sebagai tempat pemujaan kepada Nyai Roro Kidul buat kedigdayaan, pesugihan, dan penyembuhan. Saya lihat caranya saja sudah aneh membakar dupa dan menaruh sesajen di bawah kayu besar.

Pada saat lain, saya bertemu dengan seseorang yang baru bangkrut dan ingin bangkit lagi dengan bekerja siang malam. Saat dia sedang sibuk-sibuknya kerja tiba-tiba terdengar suara adzan magrib, lalu dia misuh-misuh, “Taik! udah adzan rek, kok ce' cepete!" Pisuhnya.
Antara tauhid dan syirik ini bertabir amat tipis dan samar sekali. Mungkin saja contoh prilaku syirik di atas tidak disadari oleh pelakunya. Sehingga seakan gampang berucap dan melakukannya, bahkan masih merasa di jalur agama. Kalau kehati-hatian kita tidak begitu super akan rentan tersesat, sadar maupun tidak sadar. Kadang omongan kita amat sangat tauhid tapi rasa hati dan cara prilaku kita tidak betauhid sama sekali. Atau sebaliknya, prilaku kita tauhid tapi omongan kita tidak bertauhid.

Misalnya, saya amati banyak orang yang datang ke Sendang Kamulyan bicaranya amat tauhid, “Kita ke sini cuma sebagai perantara saja, tapi yang mengabulkan itu tetap yang Maha Kuasa.” Jelasnya. Tapi, ketika melakukan ritual mereka duduk nunduk khusuk sekali sambil membakar dupa dan sesajen di depan kayu besar, apalagi tampak membaca bacaan khusus yang dihadapkan ke kayu itu.

Misal lain yang rentan sekali adalah perdukunan, pusaka keris, batu akik, atau barang antik. Berkata seeorang, “ Kalau membawa keris ini atau memakai akik ini orang akan kebal, atau bertambah wibawa, atau banyak riski, atau ditakuti orang.” Sehingga biasanya kalau ada yang minat alat tukarnya disebut mahar atau mas kawin yang jumlahnya sampai milyaran rupiah.

Sejatinya, keris-keris, batu-batu, dan segala benda di semesta langit bumi ini tidak memiliki kekuatan sama sekali kecuali kalau toh keris-keris atau batu-batu itu memiliki kekuatan, itu adalah dari Allah semata. Ketika Allah bekehendak memberikan suatu kekuatan kepada benda-benda tertentu untuk membantu manusia dalam menegakkan kebenaran dan agama, maka terjadilah sesuatu itu istimewa memiliki kekuatan tertentu. Misalnya, angin yang diperintah tunduk kepada Nabi Sulaiman as, atau tongkat Nabi Musa as yang menjadi ular, atau kekuatan angin topan ketika perang Ahzab pada masa Rasulullah saw, atau bambu runcing yang dapat mengalahkan pesawat-pesawat tempur di zaman penjajahan, atau keris-keris para wali songo, dan sejenisnya.

Biasanya kekuatan-kekuatan itu adalah wujud doa mustajab para pembuat atau pemiliknya yang dikabulkan berupa benda-benda angker itu. Dengan tetap bahwa benda-benda itu sekedar merewangi (ditundukkan) manusianya. Karena bagaimanapun seharusnya manusia itu yang lebih mulya dari pada cinptaan lainnya.
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS, 17: 70). “Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia.” (QS, 22: 65). Kekuatan-kekuatan itu, baik secara langsung berada pada tubuh manusia maupun berada pada benda yang dimilikinya, kalau bagi para Nabi dan Rasul disebut karomah dan bagi para wali atau orang-orang saleh disebut maunah.

Pada sisi lain, bisa jadi juga, selain Allah sengaja memberi kekuatan pada benda-benda tertentu itu, Allah juga berkehendak menjadikan benda-benda atau orang-orang tertentu (kesaktian atau perdukunan) sebagai ujian iman bagi manusia melalui fitnah iblis (talbis) dengan mengizinkan para iblis memasuki benda-benda atau dukun-dukun itu seraya memperlihatkan atau membisikkan kepada manusia bahwa benda itu memiliki dan menjanjikan kedigdayaan tertentu kalau dipuji, dimiliki dan dirawat, semisal pesugihan, kekebalan, dan kesaktian, yang pada akhirnya dapat menjerumuskan manusia kepada khurofat atau syirik berupa ketergantungan, sesajenan, penumbalan, dan sejenisnya.

Padahal yang pasti, segala sesuatu itu memiliki kekuatan atau sukma berupa tasbih (pemujian) kepada Allah semata. Dengan demikian, sejatinya segala sesuatu itu adalah ber-Islam (muslim: sama-sama memuji Allah/bertasbih) baik itu manusia, patung-patung, keris-keris, batu-batu, dan segalanya. “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. “Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS, 17: 44).

Maka kalau sudah demikian, kenapa kok malah benda-benda atau manusia-manusia itu yang dipuji-puji atau dimintai pertolongan?! Jadi, yang musyrik adalah manusianya dalam memprilakukan sesuatu, bukan sesuatunya. “Orang-orang yang mereka seru itu (termasuk benda-benda), mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.”  (QS, 17: 57)

Soal tauhid ini, sebetulnya kalau kita lebih perdalam lagi pemahamannya, bukan sekedar kita sadar akan keesaan Tuhan secara vertikal saja, secara horizontal juga ada ketauhidan itu. Yakni, penyatuan makhluq Tuhan yang Esa. Artinya, kalau awal segala ini, langit bumi, dan segala isinya dicipta, berasal, dan kembali kepada Tuhan yang Maha Tunggal, maka sejatinya segala makhluq ini adalah satu dengan variasi masing-masing. All in one. Satu dalam spirit spritual, spirit sosial, dan spirit natural.

Satu spirit spritual, karena segala sesuatu ini dicipta sama-sama bertasbih (memuji dan mengabdi) kepada Tuhan. Tidak ada satu ciptaanpun yang tidak bertasbih, terutama manusia. Hanya saja manusia kualitas tasbihnya bisa lebih miningkat sehingga lebih mulya dari pada makhluq lain, tapi juga bisa malah mengentengkan atau menjauhi tasbih sehingga lebih hina dari pada makhluq-makhluq lainnya.

Sementara makhluq lain, matahari, bulan, bintang, pohon, gunung, batu, besi, dan hewan-hewan senantiasa bertasbih sepanjang masa. Semua mahkluq sama-sama bertasbih hanya saja dengan cara dan kondisi masing-masing yang berbeda; manusia dengan ajarannya, yang peyair dengan syair-syairnya, yang guru dengan didikannya, yang kiai dengan petuah-petuahnya, yang lelaku dengan tirakatnya, yang petani dengan lahan-lahannya, yang pedagang dengan barang-barangnya, matahari dengan sinarnya, bulan bintang dengan cahayanya, daun-daun dengan lambaianya, rumput-rumput dengan goyangannya, burung-burung dengan kicauannya, lautan dengan ombaknya, angin dengan desirannya, dan sebagainya. “Katakanlah: ‘Tiap-tiap orang (sesuatu) berbuat menurut keadaannya masing-masing’. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS, 17: 84). Kecuali makhluq yang memang ketentuannya sudah membangkang, Iblis atau Setan.

Satu spirit sosial, karena manusia itu adalah satu dalam spirit kerukunan, tepa selera, saling menghargai, dan saling menghormati. Di sinilah persaudaraan universal terbangun, saudara “se-makhluq Tuhan yang Maha Esa”. Sama-sama dicipta dari tanah selanjutnya air yang memuncrat (maun daafiq); sama-sama memiliki anggota badan yang bertasbih; sama-sama punya rasa lapar dan sakit; dan sama-sama akan mati. Sehingga satu sama lain harus bersatu (bertauhid) saling membutuhkan dan melengkapi.

Satu spirit natural. Ini sebuah kesadaran bahwa benda-benda dan hewan apapun, mulai yang hidup maupun benda mati semuanya sama-sama memiliki rasa, atau kesadaran, atau sukma dengan bentuk, kondisi, dan caranya tentang pengakuan dan pengabdian kepada Tuhan yang Maha Pencipta dan Tunggal berupa tasbih itu sebagaimana ayat di atas.

Mungkin cara bertauhid demikianlah yang lebih konfrehensif, dengan alur beranjak dari tauhid sosial dan alam (tauhid fenomenal/horizontal) lalu mengerucut menjadi tauhid ilahi (spiritual/vertikal). Ketika sudah demikian, sungguh hidup ini akan indah dalam semangat kebersamaan dan persaudaraan. Kita tidak akan pernah menyakiti orang lain, karena kita memiliki kesadaran tunggal bahwa orang lain itu satu asal dan kembali dengan kita, juga sama-sama memiliki rasa ingin bahagia, dan sama-sama menderita kalau disakiti.

Begitu juga kita tidak akan pernah tega merusak lingkungan, menebang tumbuhan sembarangan, memprilakukan atau membunuh binatang seenaknya, karena kita paham bahwa semua itu juga sama-sama makhluq Tuhan dan mereka sama-sama memiliki sukma memuja Tuhan dan ingin bahagia. Dengan demikian mengejek, menyakiti, dan merusak citptaan Tuhan berarti sama halnya dengan menyakiti Tuhan Pencipta itu sendiri.

Mari kita analogikan secara logis saja, kita membuat sebuah karya lukisan misalnya. Setelah jadi, lalu ada orang lain yang mengejek karya kita itu. Bukankah kita otomatis yang merasa tersakiti?! Tentunya sudah pasti kita akan marah meski karya kita itu kaku tidak bisa berbuat apa-apa.

Membahas tauhid begini, saya ingat fenomena amat tragis mengerikan "Carok Religius" di omben Madura. Itu gara-gara pemahaman tauhid yang tidak utuh, sehingga bukan malah tauhid yang terjadi tapi malah fragmentasi (sekat-sekat) ketuhanan yang timbul. Ketika sudah ada semangat fragmentatif itu tentunya cenderung akan tumbuh "spirit keakuan sendiri" atau istilah lainnya arogansi diri: hanya tuhanku, agamaku, kelompokku, punyaku yang ada dan benar. Selainnya salah dan harus tidak ada, dibasmi. Akhirnya, terjadilah klaim salah menyalahkan, sesat menyesatkan, dan saling membantai. Na’udzubillahi mindzaalik.

Maka, mulai saat ini mari kita tanamkan kesadaran tauhid yang konfrehensif ini: tauhid spritual (ilahi), tauhid sosial (kemanusiaan), dan tauhid natur`l (lingkungan alam); langit, bumi, gunung, batu, besi, pohon, binatang, dan segalanya adalah saudara kita yang bersatu bersama dari, mengabdi, dan kembali kapada Tuhan yang Maha Esa. Wallahu ‘alamu bisshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar