"Only 5 thousand sir".
"Only five?! Very chief,
it's very deliciaus!"
"Yes, that i want, not only
money, but more impotant than all for me is mister happy here."
"Ooh yea, very good. You are
good men."
"Oh, i am not it sir! But i
know nothing. In my life the important is i can make other happy. Just that.
He.."
"Oke, thanks so much. Nice
too meet you."
"I am too sir."
Ini pengalamanku ngobrol-ngobrol dengan
seorang bule waktu mampir di kedai es degan durian saya. Saat itu, ada seorang Jawa
yang minum es juga. Dia bertanya perihal percakapanku.
"Mas, tadi itu nanya
apa?"
"Ow, nanya harga."
"Berapa pean bilang?"
"5 ribu saja mas."
"Cuma 5 ribu mas?!"
"Kok ga’ dimahalkan aja, lha wong bule banyak
uangnya, walaupun 20 ribu dia mau aja."
"Ngga’ mas, saya ga'
bisaan. Bagi saya semua orang sama, kalau itu udah harganya ya semuanya gitu."
tegasku.
Dalam kesempatan lain. Ada
serombongan orang bermobil mercy mewah warna hitam plat B malam-malam tiba-tiba
mampir di kedai saya nge-es juga. Jumlahnya 5 orang. semuanya bergaya
perlente, bersepatu hitam mengkilat dan berjas. Tampaknya pejabat yang baru datang
dari kunjungan, mungkin.
Selesai minum es degan alami
tanpa rasa-rasa, dia bertanya harga, "Berapa mas?"
"5 ribuan pak. 5 ribu x 5 = 25
ribu pak."
Di saat itu juga ada tetanggaku yang
mendengar, dia menyikapi saya, "Mas kok pean kasih
cuma 5 ribu, itu orang-orang kaya. Pean target 10 ribuan mereka mau.
Saya jawab sama seperti
pengalaman pada orang bule sebelumnya. Kaya miskin sama bagi saya. Bahkan kalau
tampak orang kurang mampu saya kasih di bawahnya.
Kemarin hari, di kedai es degan saya
yang cabang, saya juga mengalami hal yang sama. Ada orang Cina bermobil mewah
beli es degan. Karena kedai ini lebih berada di kota, maka saya kasih harga 7
ribuan. Semuanya juga sama 7 ribuan. Kebetulan saat itu ada orang yang kenal dengan
saya pas minum es juga. Dia menyikapi begini, "Bro, kok cuma 7
ribu? Itu orang kaya.” Jawaban saya seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Saya juga sering mengalami
begini: sering ada orang sakit, atau terapi, atau over dosis minuman keras,
mereka gupuh beli air degan sebagai obat atau jamu. Sering orang-orang yang
melihat mereka menegor saya, kok dikasih murah.
Semua mereka itu menegor saya demikian
bermaksud ingin menunjukkan kepada saya, bahwa itu menjadi peluang untuk
menjual mahal karena mereka sedang kepepet sehingga mahalpun dibayar. Jawaban saya
tetap, siapapun dan bagaimanapun kalau sudah saya pastikan harganya segitu ya
segitu. Bahkan umpama saya gak tega dengan sakitnya, saya kasih gratis
biar cepat sembuh.
Pengalaman-pengalaman ini menjadi
pelajaran bagi saya, ini kuliah alam materi sosial, bahwa semua yang ikut dalam
pengalaman saya itu menyikapinya sebagai peluang atau jurus 'mumpung' demi
kepentingan atau kebahagian sendiri. Bahkan terjadi di atas keterjepitan yang
lain. Ini namanya eksploitasi. Memperalat orang lain. Menjadikan orang lain
sebagai media untuk mewujudkan kepentingan pribadi.
Saya menjadi ingat dengan sejarah
bangsa ini. Prilaku eksploitasi ini adalah kebiasaan para penjajah dulu di
negri kita ini. Saat itu bangsa ini tidak berharkat dan bermartabat layaknya
benda mati yang dibuat alat dalam bentuk kerja rodi atau kerja paksa. Saat itu
bangsa kita sedang lemah, sehingga menjadi peluang atau lahan gembur bagi
negara lain yang lebih maju sekaligus berkarakter bringas untuk mengesploitasi
negara ini, baik dari SDA maupun SDMnya.
Namun, tidak selamanya dan tidak
semuanya SDM-SDM di negri ini lemah dan bodoh. Dari mereka ada yang cerdas, ada
yang berani, ada yang sadar, lalu mereka berontak dan mengangkis bangsa ini
dari ekspoitasi kejam itu menuju kepada kemerdekaan. Mereka itu adalah
pahlawan. Akhirnya negri ini bisa merdeka. Bangsa Indonesia.
Sekarang, kita tinggal enaknya.
Perjuangan bukan berarti perang atau pemberontakan. Tapi, perjuangan itu adalah
mengisi, menghiasi, dan melestarikan kemerdekaan ini dengan karya kesejahteraan
dan kebaikan bersama.
Ini yang harus selalu kita ingat,
bahwa perjuangan dahulu adalah memerangi para penjajah dan kejahatan yang
mengeksploitasi. Juga, bukan lantas hidup sudah merdeka dari penjajah-penjajah
malah menjadi tiran-tiran, penjajah, atau bajingan-bajingan baru di negri
sendiri. Menjajah sesama di negri sendiri dan tukang mengekploitasi saudara
sendiri yang tidak tahu apa-apa.
Cerita saya ini menjadi contoh,
alangkah banyaknya manusia-manusia yang bermental penjajah, tiran-tiran
eksploitatif, dan berbahagia di atas kesedihan yang lain. Contoh besarnya, banyak
para pemimpin-pemimpin cap bajingan di negri ini. Mereka tiran-tiran kejam
berdarah dingin, korup, main wanita, dan hobi melahap hak-hak rakyat.
Di negri ini, tahun ini,
2013-2014, adalah momen-momen pemilu dari level pilkades, pilkada, pileg, sampai
pilpres, ini adalah perjuangan dalam mengisi kemerdekaan. Bentuknya, sebelum
memilih, kita memerhatikan, mengamati, mengenali, menimbang-nimbang, dan kalau
bisa harus mengetes secara jeli, siapakah yang betul-betul pantas menjadi para
pemimpin di tanah sorga ini. Jangan sampai terulang lagi pemimpin yang dikira
pantas ternyata jadinya banyak yang berkarakter tikus curut, yang kehadirannya
meninggalkan bau busuk di negri ini. Mereka penjajah. Mereka sosok
eksploitatif.
Akhirnya, mungkin catatan ini
terasa terlalu membesar-besarkan, atau lebay. Tapi, bagaimanapun, ini adalah
miniatur sosial isi negri ini, saya dengan pengalaman saya adalah bagian dari
bangsa ini, bahwa diantara orang-orang di sekitar saya itu pada khususnya,
banyak yang berkarakter 'mumpung ada peluang', raja tega, bahagia di atas
derita, atau tukang ekspoitasi. Saya dan mereka rakyat Indonesia. Saya, kita,
para pemimpin, semuanya adalah bangsa Indonesia.
Paling terakhir, saya berdoa
semoga orang-orang, setidaknya, khusus yang saya temui di kedai es degan saya
itu, yang suka menjadikan orang lain peluang pribadi itu, tidak nyaleg atau
daftar nyalon jadi pemimpin di level apapun. Karena kalau jadi sudah jelas
nantinya negri ini lebih banyak dikerubungi tikus-tikus curut lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar