"Bang, tolong saya
minta air esnya, saya haus," ucapan seorang penjaja koran kepada saya sewaktu
melintas di depan kedai es degan durian saya. Tampaknya sangat lelah, peluhnya
bergerimis, pakaiannya kumuh dan kayaknya agak idiot. Segera saya kasih seporsi
es degan yang enak. Saya tidak tega sekali. Lalu dia pergi tanpa ucapan apa-apa
lagi.
Selang beberapa hari,
ada lagi: "Mas, minta air esnya," ucapan tegas dari seorang lelaki kepada
saya yang melintas. Perawakannya tinggi, lumayan gagah, tampak masih muda, tapi
pakaiannya kumuh, omongannya normal, dan ucapannya tegas sekali kepada saya
seakan memerintah tanpa tak tampak sedikitpun rasa malu.
Sehingga saya sempat
bingung dalam hati: ini orang normal atau agak miring ya?! pikirku. Ah, saya
tampik pikiran macam-macam. Saya gak
tega dengan kondisinya tampak ngosngosan. Lalu segera saya kasih es degan yang
seger. Langsung saja dia minum dengan dahaganya sambil berdiri di depan kedai.
Selesai, tiba-tiba dia pergi
begitu saja sambil nyengir tanpa ucapan apa-apa kepada saya. Saya biarkan
dengan ikhlas. Pikir saya, maklum mungkin dia orang yang sedikit tidak sehat. Andai sehat dengan perilaku
yang, mohon maaf, kurang ajar kayak itu, tidak akan saya kasih es.
Kali itu, (selasa,
24/03/2014) siang-siang bolong, ada lagi permintaan itu. Namun, kali itu bukan
seseorang yang agak-agak itu. Ini
normal sekali. "Mas, menawi jenengan badhe tumbas tape? Menawi mboten,
ngapunten, kulo numpang lengga mawon nggeh, kulo badhe istirahat, panas, mboten
kiat maleh, kulo nuwon tuyo es mas," pintanya dengan bahasa Jawi tulen.
Lihat caranya yang
santun, saya keburu menyilahkannya duduk dan saya haturkan es degan lebih
santun lagi. Ditambah, saya melihatnya betul-betul loyo, keringat memenuhi
wajahnya yang sudah lumayan keriput. Berperawakan kecil, baju kumuh, dan
pandangan mata yang mengisyaratkan hidup penuh derita, melas sekali. Es diminum
dengan lahap sekali.
Tape yang dijajakan
ditaruh di meja dengan rapi. Terlihat pada plastik bungkusannya sudah lusuh
berdebu, kebanyakan dipegang. Dia menjajakannya berjalan kaki dan menentengnya dengan
kedua tangannya. Karena dia menjajakannya hanya beberapa bungkus kresek saja tanpa
wadah khusus. Tidak sampe 15 bungkusan. Terangnya, dari kemarin tidak
laku-laku. Sehingga, rupanya di dalam ada sebagian yang pinggirannya sudah
basi.
Saya suruh dia istirahat
di kedai saya, sekalian saya ajak ngobrol biar merasa enjoi dan bersemangat.
"Mas, saya sudah
berpuluh tahun menjajakan ini dan sejak itu pula saya gak pernah berubah, lakunya sedikit-sedikit saja. Pokoknya dapat
buat makan keluarga sehari saja saya sudah syukur, mau lebih dari itu tidak
pernah mungkin sejak dulu. Bahkan sering juga defisit. Bahkan kemarin yang laku
cuma 1 kresek saja.
Sekarang, panas-panas begini mulai tadi pagi keliling gak ada yang laku 1 pun. Tapi, inilah memang
bagian saya. Saya tetap selalu bersyukur. Yang penting sehat dan dapat makan
sehari-hari. Lha whong Tuhan sudah
menentukan saya begini. Dan saya selalu niat buat nafkahi keluarga,"
keluhnya kepada saya.
"Zaman ini mas,
orang miskin seperti saya makin sulit cari uang. Sedangkan yang kaya enak-enak saja
makin kaya, cari uang sangat gampang," lanjutnya.
"Ya pak, sabar saja,
yang penting sehat dan kumpul keluarga. Pada saatnya tiba ya bisa sukses juga,
entah kita atau pada anak-anak kita kelak. Kesuksesan juga bukan berupa kaya
atau banyak harta melulu. Karena anugrah Tuhan bukan hanya berupa bahagia atau
harta melimpah, tapi sering kali juga berupa kelemahan atau kemiskinan yang
pada saatnya justru menjadi pengantar sampai kepada kebesaran yang lebih
abadi," tanggapku mencoba menyemangati.
"Iya mas, iya mas,
sangat benar itu, terima kasih banyak, "balasnya dengan melas. Lalu, dia pergi
menenteng tape-tape lusuh itu.
Pada sisi lain, saya
menyaksikan di depan kedai saya dan samping kanan kiri, bertengger ruko-ruko
megah yang dimiliki bos-bos besar bermobil mewah. Saben hari mobil-mobil mewah
berjejer parkir, orangnya berbelanja. Bahkan ada beberapa resto nasi yang harganya
untuk 1 porsi 30an ribu, ini banyak pengunjungnya.
Begitu juga, ada salon
elit, saya lihat pengunjungnya wanita-wanita konglomerat. Dari yang kayaknya
masih muda seumuran SMP SMA yang menyetir mobil mewah sendiri sekelas pajero, sampe
kepada ibu-ibu yang lumayan sudah berumur, mereka datang hanya untuk berdandan.
Konon, sekali dandan sampai jutaan rupiah. Ini dirutinkannya paling tidak 3
hari sekali.
Ini sekelumit cerita
tentang satu sisi hidup penuh derita dan sisi lain penuh kemewahan. Keduanya
saling berdampingan tapi amat sangat jauh.
Alam menunjukkan kepada
saya, pada satu sisi ada kehidupan yang penuh kenikmatan, kemegahan, dan
tawa-tawa, tapi pada sisi yang lain ada kemelaratan atau kesengsaran dan
tangisan; Pada satu sisi ada yang suka menghambur-hamburkan uang, tapi pada
sisi yang lain bersamaan, ada banyak yang mencari sesuap nasi saja dalam sehari
sangat kesulitan.
Aduh, ini dua sisi yang
sebetulnya berdampingan dan bersamaan, tapi terasa sangat jauh sekali dan tidak
nyambung. Betapa tidak, pikirkan saja, modal buat berdandan sekali saja bagi
sisi orang elit itu bisa dibuat makan sampai berbulan-bulan bagi ukuran yang
melarat-melarat itu.
Andai saja ada
kesambungan di antara dua sisi itu, maka saya sangat percaya, setidaknya, yang
melarat-melarat itu sedikit lega. Tidak terlalu sengsara dalam hal makan saja.
Yakni, kesambungan berupa kesadaran untuk saling peduli dan berbagi.
Maka, bukanlah salah
ketika yang melarat sampai mengatakan, dunia begitu kejam. Sebetulnya ini
kiasan metaforis, bukan dunianya yang kejam tapi memang banyak yang berdiri di
atas bumi ini yang betul-betul tega-tegaan melihat penderitaan yang lainnya.
Toh, memang juga tidak
salah, kalau ada yang berpendapat bahwa seringkali penderitaan itu mereka yang
melarat sendiri yang membuatnya karena mereka berprilaku malas atau
memprilakukan hidupnya sendiri secara tidak cerdas dan tidak hati-hati.
Meski demikian, ini
bukan lantas menjadikan alasan masuk akal untuk juga malas dalam berbagi.
Karena kita tidak berhak untuk menjadi pengkapok
atau pemberi akibat kepada yang lain. Akibat atau dosa seseorang untuk dirinya
sendiri bukan berarti membatalkan kita untuk berbuat baik. Namun, justru
menjadi peluang kita untuk berbuat yang lebih baik lagi.
Kita tidak usah ngurus,
apakah kesengsaraan seseorang akibat sengaja dibuat karena kejahatannya
sendiri, yang penting kita bisa berbuat baik kepadanya. Tuhan tidak mengajarkan
kita agar mengurus sebab-sebab kemiskinan seseorang, namun Tuhan memerintahkan
kepada kita agar saling peduli dan berbagi.
"Sesungguhnya
orang-orang baik itu meminum dari gelas yang campurannya kafuro. Yaitu, sumber
mata air yang diminum para hamba-hamba Allah dengan bebas mereka
memancarkannya. Mereka memenuhi nadzar dan takut akan hari yang siksanya
merata. Dan mereka memberi makan makanan yang disukainya kepada fakir miskin,
yatim piatu, dan yang tertawan. Mereka berkata, 'Sesungguhnya kami memberi
makan kalian karena mengharap ridlo Allah semata, bukan karena ingin balasan
atau rasa terima kasih dari kalian." (Al-Insan )
Akhirnya, orang miskin bukanlah
kehinaan di depan kita. Akan tetapi, mereka yang miskin adalah pengutuh bahkan
kebutuhan hidup kita. Karena dengan adanya mereka kita bisa berbuat dan
menjadi lebih baik, dengan hidup
bersama, saling melengkapi dan berbagi.
Laksana siang dan
malam. Bukanlah malam adalah kegelapan yang menyesatkan. Tapi malam adalah
keutuhan dari adanya siang.
Jatikerto Malang, 30 08
M.
Thanks artikelnya :D
BalasHapus