Senin, September 01, 2014

Mereka yang Hidup Melas dan yang Berkelas

"Bang, tolong saya minta air esnya, saya haus," ucapan seorang penjaja koran kepada saya sewaktu melintas di depan kedai es degan durian saya. Tampaknya sangat lelah, peluhnya bergerimis, pakaiannya kumuh dan kayaknya agak idiot. Segera saya kasih seporsi es degan yang enak. Saya tidak tega sekali. Lalu dia pergi tanpa ucapan apa-apa lagi.

Selang beberapa hari, ada lagi: "Mas, minta air esnya," ucapan tegas dari seorang lelaki kepada saya yang melintas. Perawakannya tinggi, lumayan gagah, tampak masih muda, tapi pakaiannya kumuh, omongannya normal, dan ucapannya tegas sekali kepada saya seakan memerintah tanpa tak tampak sedikitpun rasa malu. 

Sehingga saya sempat bingung dalam hati: ini orang normal atau agak miring ya?! pikirku. Ah, saya tampik pikiran macam-macam. Saya gak tega dengan kondisinya tampak ngosngosan. Lalu segera saya kasih es degan yang seger. Langsung saja dia minum dengan dahaganya sambil berdiri di depan kedai.

Selesai, tiba-tiba dia pergi begitu saja sambil nyengir tanpa ucapan apa-apa kepada saya. Saya biarkan dengan ikhlas. Pikir saya, maklum mungkin dia orang yang sedikit tidak sehat. Andai sehat dengan perilaku yang, mohon maaf, kurang ajar kayak itu, tidak akan saya kasih es.

Kali itu, (selasa, 24/03/2014) siang-siang bolong, ada lagi permintaan itu. Namun, kali itu bukan seseorang yang agak-agak itu. Ini normal sekali. "Mas, menawi jenengan badhe tumbas tape? Menawi mboten, ngapunten, kulo numpang lengga mawon nggeh, kulo badhe istirahat, panas, mboten kiat maleh, kulo nuwon tuyo es mas," pintanya dengan bahasa Jawi tulen.

Lihat caranya yang santun, saya keburu menyilahkannya duduk dan saya haturkan es degan lebih santun lagi. Ditambah, saya melihatnya betul-betul loyo, keringat memenuhi wajahnya yang sudah lumayan keriput. Berperawakan kecil, baju kumuh, dan pandangan mata yang mengisyaratkan hidup penuh derita, melas sekali. Es diminum dengan lahap sekali.

Tape yang dijajakan ditaruh di meja dengan rapi. Terlihat pada plastik bungkusannya sudah lusuh berdebu, kebanyakan dipegang. Dia menjajakannya berjalan kaki dan menentengnya dengan kedua tangannya. Karena dia menjajakannya hanya beberapa bungkus kresek saja tanpa wadah khusus. Tidak sampe 15 bungkusan. Terangnya, dari kemarin tidak laku-laku. Sehingga, rupanya di dalam ada sebagian yang pinggirannya sudah basi.

Saya suruh dia istirahat di kedai saya, sekalian saya ajak ngobrol biar merasa enjoi dan bersemangat.

"Mas, saya sudah berpuluh tahun menjajakan ini dan sejak itu pula saya gak pernah berubah, lakunya sedikit-sedikit saja. Pokoknya dapat buat makan keluarga sehari saja saya sudah syukur, mau lebih dari itu tidak pernah mungkin sejak dulu. Bahkan sering juga defisit. Bahkan kemarin yang laku cuma 1 kresek saja. 

Sekarang, panas-panas begini mulai tadi pagi keliling gak ada yang laku 1 pun. Tapi, inilah memang bagian saya. Saya tetap selalu bersyukur. Yang penting sehat dan dapat makan sehari-hari. Lha whong Tuhan sudah menentukan saya begini. Dan saya selalu niat buat nafkahi keluarga," keluhnya kepada saya.

"Zaman ini mas, orang miskin seperti saya makin sulit cari uang. Sedangkan yang kaya enak-enak saja makin kaya, cari uang sangat gampang," lanjutnya.

"Ya pak, sabar saja, yang penting sehat dan kumpul keluarga. Pada saatnya tiba ya bisa sukses juga, entah kita atau pada anak-anak kita kelak. Kesuksesan juga bukan berupa kaya atau banyak harta melulu. Karena anugrah Tuhan bukan hanya berupa bahagia atau harta melimpah, tapi sering kali juga berupa kelemahan atau kemiskinan yang pada saatnya justru menjadi pengantar sampai kepada kebesaran yang lebih abadi," tanggapku mencoba menyemangati.

"Iya mas, iya mas, sangat benar itu, terima kasih banyak, "balasnya dengan melas. Lalu, dia pergi menenteng tape-tape lusuh itu.

Pada sisi lain, saya menyaksikan di depan kedai saya dan samping kanan kiri, bertengger ruko-ruko megah yang dimiliki bos-bos besar bermobil mewah. Saben hari mobil-mobil mewah berjejer parkir, orangnya berbelanja. Bahkan ada beberapa resto nasi yang harganya untuk 1 porsi 30an ribu, ini banyak pengunjungnya.

Begitu juga, ada salon elit, saya lihat pengunjungnya wanita-wanita konglomerat. Dari yang kayaknya masih muda seumuran SMP SMA yang menyetir mobil mewah sendiri sekelas pajero, sampe kepada ibu-ibu yang lumayan sudah berumur, mereka datang hanya untuk berdandan. Konon, sekali dandan sampai jutaan rupiah. Ini dirutinkannya paling tidak 3 hari sekali.

Ini sekelumit cerita tentang satu sisi hidup penuh derita dan sisi lain penuh kemewahan. Keduanya saling berdampingan tapi amat sangat jauh.

Alam menunjukkan kepada saya, pada satu sisi ada kehidupan yang penuh kenikmatan, kemegahan, dan tawa-tawa, tapi pada sisi yang lain ada kemelaratan atau kesengsaran dan tangisan; Pada satu sisi ada yang suka menghambur-hamburkan uang, tapi pada sisi yang lain bersamaan, ada banyak yang mencari sesuap nasi saja dalam sehari sangat kesulitan.

Aduh, ini dua sisi yang sebetulnya berdampingan dan bersamaan, tapi terasa sangat jauh sekali dan tidak nyambung. Betapa tidak, pikirkan saja, modal buat berdandan sekali saja bagi sisi orang elit itu bisa dibuat makan sampai berbulan-bulan bagi ukuran yang melarat-melarat itu.
Andai saja ada kesambungan di antara dua sisi itu, maka saya sangat percaya, setidaknya, yang melarat-melarat itu sedikit lega. Tidak terlalu sengsara dalam hal makan saja. Yakni, kesambungan berupa kesadaran untuk saling peduli dan berbagi.

Maka, bukanlah salah ketika yang melarat sampai mengatakan, dunia begitu kejam. Sebetulnya ini kiasan metaforis, bukan dunianya yang kejam tapi memang banyak yang berdiri di atas bumi ini yang betul-betul tega-tegaan melihat penderitaan yang lainnya.

Toh, memang juga tidak salah, kalau ada yang berpendapat bahwa seringkali penderitaan itu mereka yang melarat sendiri yang membuatnya karena mereka berprilaku malas atau memprilakukan hidupnya sendiri secara tidak cerdas dan tidak hati-hati.

Meski demikian, ini bukan lantas menjadikan alasan masuk akal untuk juga malas dalam berbagi. Karena kita tidak berhak untuk menjadi pengkapok atau pemberi akibat kepada yang lain. Akibat atau dosa seseorang untuk dirinya sendiri bukan berarti membatalkan kita untuk berbuat baik. Namun, justru menjadi peluang kita untuk berbuat yang lebih baik lagi.

Kita tidak usah ngurus, apakah kesengsaraan seseorang akibat sengaja dibuat karena kejahatannya sendiri, yang penting kita bisa berbuat baik kepadanya. Tuhan tidak mengajarkan kita agar mengurus sebab-sebab kemiskinan seseorang, namun Tuhan memerintahkan kepada kita agar saling peduli dan berbagi.

"Sesungguhnya orang-orang baik itu meminum dari gelas yang campurannya kafuro. Yaitu, sumber mata air yang diminum para hamba-hamba Allah dengan bebas mereka memancarkannya. Mereka memenuhi nadzar dan takut akan hari yang siksanya merata. Dan mereka memberi makan makanan yang disukainya kepada fakir miskin, yatim piatu, dan yang tertawan. Mereka berkata, 'Sesungguhnya kami memberi makan kalian karena mengharap ridlo Allah semata, bukan karena ingin balasan atau rasa terima kasih dari kalian." (Al-Insan )

Akhirnya, orang miskin bukanlah kehinaan di depan kita. Akan tetapi, mereka yang miskin adalah pengutuh bahkan kebutuhan hidup kita. Karena dengan adanya mereka kita bisa berbuat dan menjadi  lebih baik, dengan hidup bersama, saling melengkapi dan berbagi.

Laksana siang dan malam. Bukanlah malam adalah kegelapan yang menyesatkan. Tapi malam adalah keutuhan dari adanya siang.

Jatikerto Malang, 30 08 M.

1 komentar: