Senin, Januari 19, 2015

Impian Kita di Bukit Welas Asih


Oleh:Ali Sabilullah, S.Fil.I

Manusia hidup pasti punya impian. Terlepas apapun dan bagaimanapun bentuk dan jalannya. Yang jelas punya impian yang diinginkan. Akhirnya juga berbeda, ada yang sukses ada yang gagal.

Tanpa impian, manusia akan mandeg atau mati. Meski secara dhohir masih hidup, hidupnya dianggap matinya. Bahasa anak santri Bilang, Wujuduhu ka 'adamihi.

Impian dibilang juga dengan cita-cita. Keinginan yang harus dicapai. Kiai saya di pesantren menyebutnya mimpi-mimpi.

Impian atau cita-cita, kalau boleh saya  bilang adalah keinginan masa panjang, gaerah masa depan, besar, dan prosesnya juga besar dan panjang. Tapi tidak semua keinginan itu pantas disebut cita-cita.

Umpama saya bilang, saya bercita-cita pergi ke rumah kamu nanti sore. Maka ini bahasanya tidak pantas. Yang pas ini, saya ingin pergi ke rumahmu nanti sore. Atau saya berkata begini, cita-cita saya pada umur 40an harus sudah punya usaha travel dan rental mobil berjumlah lebih dari 25 unit mobil. Ini pantas. Sama juga begini, keinginan saya pada umur 40an harus sudah punya usaha travel.

Jadi cita-cita itu adalah keinginan yang besar dan masa depan. Sedangkan keinginan masa pendek, sekarang atau hari ini adalah kurang pas untuk dikatakan cita-cita atau impian.

Iwan Fals pada lirik lagunya bilang, keinginan adalah sumber penderitaan. Ini memang betul. Tapi tidak semua keinginan seperti itu. Karena keinginan bahasa lain dari nafsu. Sedangkan nafsu, tidak semuanya buruk. Bukankah Tuhan meridloi nafsu yang muthmainnah?

Keinginan yang membawa derita adalah keringinan yang tak terkontrol. Nafsu yang tak terkendali. Hasrat yang lepas selalu dituruti. Hasrat angkara. Nafsu lauwwamah. Nafsu hayawaniyah. Nafsu syaithoniyah. Shahwat. Maka pantas dikata, mengumbar nafsunya, atau diperbudak oleh hawa nafsunya.

Banyak teori, prinsip, atau filosofi menenai impian ini. Diantaranya sering didengar bahwa cita-cita harus fokus. Biar cepat tercapai, katanya. Ibarat sebuah perjalanan, kalau fokus satu arah tujuan akan cepat sampai. Tapi kalau banyak tujuan, sedikit mampir dan mampir, maka meski tetap sampai ke tujuan utama, setidaknya sangat lambat. Bisa jadi menyebabkan gagal.

Juga ada yang bilang, bercita-citalah setinggi langit. Filosofinya, bercita-cita setinggi mungkin, bukan tanggung, biar andai ada kegagalan jatuhnya masih tinggi. Anggaplah umpama berambisi menaiki gunung paling tinggi, sehingga kalau ada kegagalan atau tidak sampai paling tidak sudah ada di atas ketinggian, atau jatuhnya di atas bukit. Masih tinggi. Ambisinya beli mobil mewah, gagalnya setidaknya masih punya mobil meski bukan yang mewah.

Teori, prinsip, dan filosofi, semua itu hanya sebagai pemeta dan sugesti yang tentunya bukan satu-satunya penentu keberhasilan sebuah cita-cita.

Juga ada sebuah prinsip, manusia yang berusaha dan bercita cita sedangkan Tuhan yang menentukan. Karena Tuhan memang Pencipta dan Pengatur kehidupan ini. Apa mau-Nya tidak ada yang melarang.

Oleh karena itu ada istilah doa, semoga bersama taufik, inayah, dan hidayah Allah. Taufiq artinya, kesetujuan kehendakTuhan. Kalau kita memiliki keinginan dan bersamaan juga dg kehendak Tuhan maka akan jadi. Tapi sebaliknya, kalau keinginan kita tidak ditaufiqi atau Tuhan tidak menghendaki maka tidak jadi.

Inayah adalah anugrah-Nya atau pemberian. Lekas atau cepat dikasih. Umpama kita disetujui oleh Tuhan di dalam keinginan pergi ke Jakarta mencari pekerjaan, tp tidak dikasih (diinayahi) pekerjaannya, maka kita cuma sampai ke Jakarta saja, pekerjaannya belum ada innayah.

Hidayah, petunjuk kepada kebenaran, kelurusan, keselamatan. Banyak orang kaya raya, keinginannya bersama dg taufiq dan inayah Tuhan, tapi tidak dihidayahi, maka kekayaannya akan mencelakakannya. Misalnya terlena dg kemaksiatan.

Dari itu keinginan adanya atau tercapainya harus dg hidayah, inayah, dan hidayah Tuhan. Di situ cita-cita yang betul-betul sukses.

Dari itu keinginan yang tinggi atau cita-cita setinggi langit bukanlah sekedar wacana puitis atau mungkin disebut lebai. Tapi ini sebuah kemestian, sugesti, dan jalan kalau memang ingin jadi manusia besar. Manusia sukses.

Secara pribadi saya punya keringinaan itu, cita-cita itu. Yang besar dan tidak tanggung-tanggung.

Ini impian saya: saya sedang merintis Pendidikan Al-Qur'an dan Bina Sosial Asih Bersama Bukit Qur'an di Sumber Tempur Gunung Kawi Malang. Di situ ada bukit namanya bukit Mbah Malang. Disebut bukit Mbah Malang karena puncak bukit itu bisa dilihat dari banyak sisi sejagat Malang. Paling puncak ada semacam petilasan yang didatangi orang dari mana-mana untuk beritual entah apa maksudnya.

Muridnya sekarang masih kurang lebih 30an anak. Di antara mereka ada yang yatim piatu dan tidak sedikit yang ditinggal merantau bapak ibunya.

Sarana dan sistem pendidikan mereka masih berbentuk sederhana sekali. Bertempat di rumah kosong yang dikontrak. Tidak ada tempat wudlu. Untuk ngaji harus punya wudlu dari rumah masing-masing. Hampir saben hari sebelum ngaji anak-anak harus menyapu kotoran-kotoran tikus, karena pintunya lubang-lubang dimasuki tikus kebun kopi. Sangat sederhana sekali.

Tapi kesederhanaan itu memiliki keindahan tersendiri bagi kami, sekaligus sebagai sugesti, "Ini betul-betul mulai dari nol. Kebesaran hanya tercipta dari kekecilan". Dengan keyakinan begitu menjadi kenikmatan tersediri. Suatu saat biar ada kisah tersendiri.

Saya masih sendirian mengelolanya dari awal, dibarengi seorang dermawan berhati mutiara yang bertekat sebagai tonggak utama pembangunannya. Kami hanya berdua berbagi tugas. Sudah setahun lebih berjalan. Mau ngajak teman, saya kawatir pikirannya tidak sama, karena tidak ada bayaran bahkan yang ada hanya perjuangan dan kembang kempis.

Di sisi lain, jarak antara rumah saya dan Bukit Qur'an tersebut kurang lebih 25 km dg jalan naik-naik dan perkebunan. Banyak jarak jalan yang jauh dari perumahan. Sepi. Gelap. Saben hari saya wira-wiri itu. PP 1.5 liter lebih bensin. Jam 5 sore berangkat, jam 8-9 malam pulang. Ini sudah setahun lebih, sejak pertengahan 2013. Amat penuh perjuangan.

Meski demikian adanya, kami tak kecil hati, kami bercita, suatu saat kami harus bisa membawa anak-anak ke atas bukit Mbah Malang: bukit Mbah Malang harus dipenuhi gedung-gedung pendidikan Al-Qur'an dan Bina Sosial Asih Bersama. Bukit Qur'an. Bukit Welas Asih.

Gedung-gedungnya berdesain kombinasi Timur-Barat. Megah. Dikelilingi pohon-pohon bidara yang rindang. Penuh temaran lampu yang terang menyala. Jalan-jalannya berkulit mulus memutari punggung-punggung bukit. Di situ ada kebun-kebun: kebun Qur'an, kebun bahasa, kebun baca, kebun seni, dan paling puncak saya rubah menjadi Petilasan Riyadlah Pintu Langit. Anak-anak didik dan orang-orang bebas memasukinya dengan hati yang sangat jembar.

Selain sebagai tempat menimba ilmu, menempa diri, dan bina sosial, di situ juga menjadi negri kecil  yang menakjubkan nan indah sebagai bagian kebesaran Tuhan. Orang-orang berdatangan dari mana-mana dg niat apa saja untuk memperbaiki diri. Di bukit itu tersedia berbagai upaya terpenuhi. Dg kebesaran dan welas asih Tuhan.

Bimillah. Amin ya robbal 'alamin.

Kalisat Sumber Tempur Gunung KawiMalang, 01 01 2015 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar